Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam sudah mencapai usia yang tidak muda lagi. Pada tahun 2021 ini, NU sudah berusia 95 tahun dan tepat pada tahun 2026 kelak, NU akan genap berusia satu abad menurut perhitungan kalender masehi.
Yang perlu diperhatikan oleh nahdliyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama) adalah pada saat NU berusia tepat satu abad nanti tidak hanya diperingati secara seremonial dan euforia semata, tetapi juga harus berpikir bagaimana NU ke depan dalam menghadapi dinamika yang ada. Dilansir dari NU Online, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. atau sering dikenal Kiai Said Aqil Siroj, menyampaikan bahwa peringatan satu abad NU tidak hanya menjadi sebuah seremoni dan romantisme semata, tetapi juga harus dijadikan momentum untuk memperkuat peran NU di segala bidang dalam kaitannya meneguhkan perjalanan bangsa dan negara. NU harus mampu merespons segala permasalahan dan tantangan yang ada agar NU mampu menjaga eksistensinya sebagai benteng dalam menjaga keutuhan negara dan menyebarkan islam moderat ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah.
Sedikit membahas sejarah, NU sejak kelahirannya memang merupakan bentuk respons ulama-ulama terhadap problematika yang ada. Bahkan permasalahan yang ada sifatnya tidak hanya terbatas pada skala nasional, tetapi sudah menjadi masalah Islam skala internasional. Di samping sisi spiritual, NU yang lahir pada 16 Januari 1926 M (atau bertepatan pada 16 Rajab 1344 H) merupakan bentuk respons ulama NU terhadap rencana kontroversial yang akan dibuat oleh raja Arab, yaitu Raja Ibnu Saud. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud berencana untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW di Makkah. Raja Ibnu Saud memang beraliran wahabi dan secara otomatis Arab dikuasai oleh wahabi dan kebebasan bermadzab pun bukanlah suatu hal yang diperbolehkan. Menyikapi hal tersebut, ulama-ulama yang basisnya pondok pesantren di Nusantara tidak tinggal diam.
Singkat cerita dibentuklah kepanitian kecil bernama Komite Hijaz yang dipelopori oleh KH. Wahab Chasbullah untuk menjadi delegasi ke Arab dan menyampaikan beberapa permohonan kepada Raja Arab. Karena Komite Hijaz bukanlah bukanlah nama suatu organisasi, maka disetujui oleh para ulama untuk diganti nama menjadi jam’iyah, yaitu Nahdlatul Ulama. Lalu, berangkatlah Kiai Wahab dengan restu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan dibantu oleh Syaikh Ghonaim al Misri menemui Raja Arab dan menyampaikan permohonan yang ada. Berkat hal itulah, makam Rasulullah tidak jadi dibongkar. Jadi secara historis lahirnya NU sudah memiliki kontribusi yang besar bagi dunia islam secara global.
Dewasa ini, problematika dan tantangan yang dihadapi NU sudah berbeda. Dalam menyongsong abad kedua NU ini, kenyataan yang ada memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh NU. Permasalahan-permasalahan yang ada cukup kompleks, mencakup pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Kita coba ambil satu poin, yaitu pendidikan. Dilansir dari antaranews.com, KH. Sholahuddin Wahid—Allahu yarham—menyampaikan bahwa NU sebagai ormas terbesar di Indonesia dalam hal pendidikan masih kalah dengan Muhammadiyah yang jumlah anggotanya setengah dari NU. Hal itu dibuktikan dengan lembaga pendidikan milik Muhammadiyah banyak yang sudah terakreditasi A, berbeda dengan lembaga pendidikan NU yang masih minim yang berakreditasi A dan kebanyakan berakreditasi B.
Lebih luas, sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan, khususnya yang bukan milik NU sudah terindikasi paham-paham yang ekstrim dan radikal seperti wahabi. Paham-paham seperti itu masuk melalui Kerohanian Islam (Rohis) di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Dalam perjalanannya Rohis secara perlahan mampu menanamkan doktrin-doktrin akidah yang tidak berlandaskan ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah.
Usia pelajar adalah masa di mana anak-anak belajar dan menemukan jati dirinya. Karakter yang tertanam pada diri seseorang salah satunya adalah berkat apa yang didapat sewaktu mengenyam pendidikan di sekolah ataupun perguruan tinggi. Apabila Rohis yang ada di sekolah dan perguruan tinggi berhasil menguasai lini pendidikan, maka bukan tidak mungkin generasi mendatang akan memiliki karakter yang tidak berlandaskan ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi NU. Apabila hal ini dibiarkan saja, eksistensi NU pada abad kedua usianya akan menurun dan perlahan lenyap.
NU memang perlu merespons tantangan apa yang ada pada dunia pendidikan. Kita sebagai nahdliyin tentu tidak ingin lembaga pendidikan yang ada dikuasai oleh orang-orang yang ekstrim kanan. Dalam merespons hal ini, NU perlu memperkuat basisnya di ranah pelajar. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan penguatan pada badan otonom (banom) NU yang basisnya keterpelajaran.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) merupakan organisasi yang menjadi badan otonom NU yang menjadi wadah bagi pelajar. Secara definisi, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang bersifat keterpelajaran, kekaderan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan. IPNU sendiri dimulai sejak tingkatan grass root (akar rumput), yaitu tingkatan desa ada Pimpinan Ranting (PR) dan Pimpinan Anak Ranting (PAR), tingkatan sekolah dan pesantren ada Pimpinan Komisariat (PK), dan tingkatan perguruan tinggi ada Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT).
IPNU menjadi bagian penting dalam tubuh Nahdlatul Ulama. IPNU merupakan gerbang awal dalam tampuk kepemimpinan di NU. IPNU menjadi tempat awal dalam penggemblengan kader-kader NU. IPNU sebagai wadah organisasi pelajar melalui proses pengkaderan bertujuan untuk menyiapkan generasi bangsa yang memiliki keilmuan sebagai modal pengembangan kecerdasan kader, keislaman yang berasaskan ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah, dan kebangsaan yang menjunjung asas demokratis, toleran, dan peduli terhadap nasib bangsa dan negara. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa IPNU memiliki peran penting dalam menyongsong abad ke-2 NU. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa eksistensi NU kedepan tidak lepas dari eksistensi IPNU pada masa sekarang.
Pada saat ini, IPNU menghadapi problematika yang cukup kompleks. Seperti disinggung sebelumnya bahwa IPNU harus mampu membendung segala doktrin-doktrin wahabi yang notabene berusaha untuk menghancurkan paham ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah. Doktrin-doktrin seperti itu sudah masuk ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi melalui Rohis. Untuk itulah, IPNU harus mampu menghadapi gempuran doktrinisasi dari organisasi tersebut.
Selain problematika doktrinisasi wahabi tersebut, IPNU juga dituntut untuk siap menghadapi segala hal dalam perubahan yang ada. Di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. segala sesuatu berjalan dengan cepat. Teknologi semakin berkembang dengan pesat. Intelektualitas dan kreativitas sangat diperlukan untuk dapat bertahan dan bersaing di era yang semakin maju ini. Ambil contoh adalah adanya pengembangan terbaru dalam bidang teknologi, yaitu adanya Space X. Space X merupakan transportasi penerbangan berbasis roket yang dikembangkan oleh Elon Musk. Apabila pengembangan Space X kelak berhasil, maka ada kemungkinan industri transportasi penerbangan konvensional akan mengalami kemunduran. Itulah dampak adanya perkembangan teknologi yang pesat di mana inovasi akan menggantikan hal-hal yang tidak beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Sebenarnya sudah cukup banyak contoh terkait hal-hal inovatif yang menggantikan hal-hal yang sebelumnya berjaya. Kita ambil contoh pada teknologi handphone atau telepon genggam. Dulu kita bisa melihat bagaimana Nokia dengan teknologi symbian mampu menguasai pasar handphone di seluruh. Lambat laun, muncullah teknologi android. Nokia ternyata terlena dengan kejayaan symbian dan awalnya menolak untuk memakai teknologi android. Nokia kemudian tidak melakukan inovasi pada produknya. Hingga pada akhirnya kejayaan Nokia pun runtuh dengan sendirinya. Hal itu dikarenakan Nokia kurang jeli dalam membaca situasi yang ada dan tidak melakukan inovasi pada produknya.
Tidak hanya itu, kita juga memasuki era digitalisasi di mana segalanya bisa dilakukan secara digital. Kita bisa lihat bagaimana fenomena ojek online (ojol) menjadi suatu inovasi yang sangat efektif dan berguna bagi masyarakat. Mereka bisa memesan ojek di manapun dan kapanpun tanpa perlu pergi ke pangkalan ojek. Tidak hanya itu, ojol pun merambah ke jasa antar makanan dan barang sehingga memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.
Selain ojol, contoh lainnya adalah pada fenomena belanja online. Kini, berjualan dan belanja tidak perlu pergi ke toko atau pasar secara langsung. Orang-orang bisa berjualan dan belanja berbasis dalam jaringan (daring) melalui aplikasi seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, Akulaku, dan lain-lain. Produk apapun bisa dijual di situ. Apalagi pada masa pandemi covid-19 ini di mana masyarakat harus membatasi mobilitas dan kontak fisik atau dikenal dengan istilah physical distancing. Masyarakat yang takut terkena virus pun mulai menahan diri untuk tidak sering keluar rumah dan hanya keluar rumah untuk keperluan mendesak. Kantor-kantor, sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas umum pun sepi. Bekerja dan belajar dilakukan dari rumah. Dalam menyikapi hal itu, segalanya memang perlu dilakukan secara daring atau berbasis digital. Apabila sebagai masyarakat yang notabene adalah kader NU, khususnya kader IPNU mampu harus mampu beradaptasi dan berinovasi dengan segala perubahan yang ada.
Dalam menyongsong abad kedua NU yang merupakan era di mana teknologi berkembang dengan cepat, IPNU harus menjadi wadah organisasi pelajar yang mengedepankan intelektualitas dan kreativitas, tetapi tidak meninggalkan sisi spiritualitas. IPNU sebagai bagian dari NU harus tidak meninggalkan sisi moderat. IPNU harus menjadi basis pelajar yag hebat secara keilmuan, tetapi tetap mengedapankan karakter luhur yang notabene adalah santri dari para Kiai.
IPNU memang perlu menyeimbangkan antara spiritual dan intelektual dalam menghadapi segala problematika dan tantangan yang ada pada masa sekarang dan masa mendatang. Apabila IPNU hanya mementingkan sisi spiritual saja, maka IPNU tidak akan berkembang dan kalah persaingan. Hal itu pun akan berimbas pada NU karena kader-kader NU dibentuk dari tingkatan paling bawah, yaitu IPNU. Sama halnya ketika IPNU hanya mementingkan sisi intelektual saja. IPNU akan kehilangan sisi spiritual dan akhlakul karimah. Hal itu berimbas pada lahirnya generasi pelajar yang tidak berkarakter luhur. Kita bisa lihat bagaimana maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat di Indonesia. Seakan korupsi adalah budaya yang mengakar di tatanan masyarakat kita. Jika kita perhatikan, para pejabat yang korupsi bukanlah orang yang bodoh atau kurang dalam hal wawasan. Justru mereka adalah orang yang pintar, berpendidikan tinggi, dan memiliki wawasan yang luas. Namun, kepintaran yang mereka miliki tidak diiringi dengan pendidikan karaker dan pendidikan agama yang baik sehingga mereka terlena dengan jabatannya. Untuk itulah, IPNU harus mampu menyeimbangkan antara spiritual dan intelektual.
Gerakan Spiritual
IPNU sebagai organisasi yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama tidak boleh lepas dari sisi spiritual. Kader-kader IPNU berakidah dan ber-akhlakul karimah ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah. Dari situlah, IPNU harus mampu menghadapi tantangan dan problematika dalam hal spiritual.
Spiritual sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V memiliki arti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Dalam NU sendiri cukup banyak amaliyah atau tradisi yang sifatnya tahlilan, yasinan, ziarah, manaqiban, dan lain-lain. Di sisi lain, karakter yang dibentuk di lingkungan Nahdlatul Ulama adalah karakter santri yang mana tawadlu kepada Kiai, guru, orang tua, dan bahkan beretika yang baik ketika berinteraksi dengan teman sebaya ataupun yang lebih muda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan zaman telah menggerus sisi-sisi spiritual pada pelajar yang notabene berusia remaja. Pengaruh budaya-budaya modern dan perkembangan teknologi cukup punya andil di sini. Ambil contoh, jika para pelajar yang notabene berusia remaja diajak untuk ngaji, tahlilan, yasinan, ziarah, atau apapun yang sifatnya spiritual pasti akan malas untuk mengikutinya. Bahkan, untuk membiasakan diri pergi salat berjamaah di masjid saja sudah mulai luntur di kalangan pelajar saat ini. Jangankan salat berjamaah, untuk sekadar menginjakkan kaki di masjid saja mereka sungkan. Pelajar sekarang lebih suka berfoya-foya dengan nongkrong di kafe ataupun menghabiskan waktu dengan bermain game online.
Dalam menjaga dan melestarikan akidah ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah, adanya gerakan spiritual memang sangat diperlukan. Di IPNU sendiri sudah pernah diagendakan gerakan spiritual dengan kegiatan yang bertajuk “Gerakan Pelajar Mengaji”. Kegiatan yang diluncurkan oleh Pimpinan Pusat (PP) IPNU pada bulan Oktober 2020 dilaksanakan dengan khataman Al-Qur’an sebanyak 2020 kali dan membaca shalawat Thibbil Qulub. Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka Haul ke-34 Pendiri IPNU Prof KH. Tolchah Mansoer dan peringatan Hari Santri Nasional. Dilansir dari NU Online, Ketua Umum PP IPNU, Aswandi Jailani, menyampaikan bahwa Pelajar Mengaji merupakan gerakan spiritual sebagai aktualisasi dalam penguatan ideologi, yaitu ideologi keislaman ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah dan ideologi pancasila dalam bernegara. Sebenarnya kegiatan ini cukup bagus sebagai bentuk gerakan spiritual. Namun, kegiatan ini dirasa hanya menyentuh segmen internal atau pada pengurus dan anggota IPNU di semua tingkatan. Hal itu dirasa masih kurang karena belum menyentuh segmen pelajar di luar IPNU.
Dalam hal gerakan spiritual, NU secara kultur telah terbentuk dengan adanya jam’iyah-jam’iyah yang ada di lingkup grass root, yaitu kampung atau desa. Jam’iyah-jam’iyah tahlil, mauled, nariyah, istighosah, dan jam’iyah lain yang sifatnya spiritual senantiasa menjadi ruang yang tepat dalam menjaga dan menguatkan akidah ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah di tingkatan akar rumput. Jam’iyah-jam’iyah ini sebenarnya tidak hanya berlaku di desa, tetapi juga juga hidup di perkotaan. Walaupun memang secara intensitas memang berbeda dengan masyarakat desa.
Ambil contoh ada jam’iyah maulid di salah satu desa. Jam’iyah ini bertujuan untuk mengajak anak-anak dan remaja dalam menghidupkan tradisi NU berupa maulid. Anak-anak sejak dini dikenalkan dengan maulid dan sedikit demi sedikit diajarkan bermain rebana oleh orang tua atau remaja yang mahir dalam rebana. Seiring pertumbuhan, anak-anak semakin mahir dalam membaca maulid dan memainkan rebana. Lalu, mereka yang sudah mahir dapat mengajarkan kepada adik-adiknya yang belum bisa. Di sisi lain, jam’iyah-jam’iyah seperti ini tidak hanya mencetak generasi anak yang mahir dalam membaca maulid dan memainkan rebana, tetapi juga akan menumbukan kecintaan anak-anak kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan juga akan tumbuh semangat dalam menjaga akidah ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah melalui pengalaman-pengalaman spiritual yang dialaminya. Dengan begitu, kaderisasi NU dalam hal gerakan spiritual akan terus berjalan.
Permasalahannya adalah saat ini jam’iyah-jam’iyah yang segmennya adalah pelajar kini kian berkurang. Semakin hari, remaja yang bisa dan mau berkontribusi dalam menghidupkan jam’iyah-jam’iyah ini semakin berkurang. Faktor pergaulan bisa menjadi pengaruh yang cukup kuat. Para remaja lebih suka bergaul dan nongkrong di kafe daripada bergaul di masjid. Selain pergaulan, faktor perkembangan teknologi juga mempunyai pengaruh. Adanya gawai yang saat ini bisa diakses siapapun nyatanya tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga mudharat. Para remaja saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya bermain di media sosial seperti Instagram, TikTok, dan lain-lain. Ditambah lagi di tingkatan usia bawah, minat anak-anak terhadap hal-hal yang sifatnya spiritual juga berkurang. Dulu, anak-anak sering menghabiskan waktunya di masjid dengan mengaji ataupun sekadar berkumpul dan bermain dengan teman sebayanya di pelataran masjid. Sekarang ini, anak-anak lebih suka untuk menghabiskan waktunya dengan bermain video game di handphone. Apabila hal ini luput dari perhatian dan tidak ada upaya pembenahan, maka bukan tidak mungkin pada abad kedua NU ini akan hilang generasi yang kuat dalam hal spiritual.
Lalu, pada lingkup sekolah dan perguruan tinggi pun menghadapi permasalahan yang juga cukup berat. Saat ini, rongrongan wahabi di sekolah dan perguruan tinggi melalui Rohis kian marak. Hal tersebut dapat menyebabkan ideologi ekstrem kanan akan tertanam pada diri pelajar. Eksistensi NU, bahkan Negara pun terancam goyah. Dalam hal ini, IPNU sebagai banom NU dan wadah organisasi bagi pelajar mempunyai peran penting untuk menangani problematika yang ada.
Dalam menyongsong abad kedua NU, IPNU harus mampu membuat gerakan spiritual yang tujuan untuk tetap menjaga keutuhan ideologi keislaman ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah dan ideologi pancasila dalam bernegara. Gerakan spiritual yang ada harus dimulai dari tingkatan paling bawah atau grass root.
Di tingkatan IPNU ranting atau desa, IPNU harus mampu membuat gerakan spiritual dengan merevitalisasi jam’iyah-jam’iyah yang ada. Dalam revitalisasi jam’iyah ini, IPNU harus membuat inovasi yang mampu menampilkan daya tarik bagi pelajar, khususnya anak-anak dan remaja yang ada di desa. Misalnya dalam jam’iyah maulid, anak-anak yang belajar di situ tidak hanya fokus untuk belajar bacaan maulid seperti al barzanji, diba’, atau simtudduror saja, tetapi bisa dikemas dengan lagu-lagu yang sedang tren saat ini yang diaransemenkan dengan lagu-lagu shalawat. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang ada tidak hanya dipusatkan di tempat-tempat ibadah saja, tetapi juga dilakukan di tempat-tempat yang menarik, misalnya di tempat-tempat yang memiliki wifi. Anak-anak bisa diajak untuk berlatih rebana dan melakukan kegiatan jam’iyah lainnya dan setelahnya bisa diadakan main bareng (mabar) game online.
Dalam upaya tersebut, kita juga harus tahu dan bisa melihat apa yang menjadi minat dari anak-anak. Setelah itu, kita jangan sungkan-sungkan untuk ikut bergabung dengan mereka. Misalnya ada anak-anak yang hobinya main game online, kita ikut main bareng dengan mereka. Ada anak-anak yang hobi mancing, kita ikut mancing dengan mereka, dan lain sebagainya. Ketika kita sudah bisa akrab dengan mereka, kita dapat secara perlahan-lahan mengajak mereka untuk ikut jam’iyah-jam’iyah yang basisnya pelajar. Dengan begitu, stigma kegiatan-kegiatan spiritual keagamaan yang membosankan dan tidak menyenangkan perlahan-lahan akan terhapuskan dan revitaisasi jam’iyah akan berhasil diterapkan.
Di tingkatan IPNU komisariat atau lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), IPNU harus mampu memerangi dan membasmi doktrinisasi paham ekstrem kanan. Hal itu dapat dilakukan dengan menguasai ruang organisasi keagamaan yang ada di sekolah atau perguruan tinggi. Ada dua cara yang dapat diterapkan. Pertama, mengganti organisasi islam tingkat pelajar yang ada di lembaga pendidikan. Dalam hal ini, IPNU harus mempunyai hubungan yang baik dengan stake holder atau penentu kebijakan. Di Jawa Timur, cara ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU. Sekolah-sekolah di sana yang ada di bawah naungan LP Ma’arif NU bahkan membuat kebijakan tidak hanya mengganti organisasi islam, tetapi organisasi pelajar yang lebih umum, yaitu Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan PK IPNU.
Kebijakan mengganti OSIS dengan PK IPNU tentu bisa dan cukup efektif apabila diterapkan untuk sekolah-sekolah di bawah naungan LP Ma’arif. Namun, kasusnya akan beda apabila diterapkan di sekolah-sekolah umum, baik negeri maupun swasta, yang notabene bukanlah sekolah di bawah naungan LP Ma’aarif. Untuk hal itu, bisa diatasi dengan cara kedua, yaitu menguasai organisasi tingkat pelajar di sekolah. Biar bagaimanapun, Rohis hanyalah wadah atau lebih khusus diibaratkan sebuah kendaraan. Sebuah kendaraan bergantung kepada sopirnya. Sopir mengarahkan ke kanan, maka kendaraan akan ke kanan, kalau ke kiri pasti akan ke kiri. Untuk itulah, pada cara kedua ini IPNU harus menjadi sopir bagi kendaraan yang ada, yaitu Rohis. Apabila yang ada dalam tubuh organisasi bernama Rohis ini diisi oleh orang-orang IPNU, maka arah gerak organisasinya dapat disesuaikan ala ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah.
Cara kedua ini juga berlaku untuk komisariat yang ada di perguruan tinggi. di perguruan tinggi, IPNU dikategorikan sebagai organisasi ekstra kampus, bukan intra kampus. Artinya, ruang gerak IPNU di kampus terbatas. Untuk dapat meluaskan eksistensi dan penguatan paham ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah di kampus, IPNU perlu melakukan pendistribusian kader di organisasi-organisasi intra kampus. Dengan begitu, marwah ahlus sunnah wal jamaah an-nahdliyah di kampus akan tetap terjaga.
Gerakan Intelektual
IPNU sebagai organisasi yang bersifat keterpelajaran juga harus kuat dalam sisi intelektual. Perkembangan zaman yang begitu cepat menuntut segala hal bertransformasi. Di zaman yang serba digital ini, apa-apa bertransformasi menjadi digital. Dulu, kita hanya dapat belajar dengan cara bertemu langsung dengan guru. Sekarang ini, kita bisa belajar tanpa perlu bertatap muka secara langsung melalui aplikasi video conference, seperti Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan juga belajar dari platform media berbasis video seperti Youtube dan TikTok.
Memang tidak ada yang dapat mengontrol perkembangan zaman yang berubah dengan cepat seperti ini. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi dan mempelajari banyak hal tentang segala hal. Kita juga dituntut untuk berkreasi dan berinovasi dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan. Apabila kita tidak mampu melakukannya, kita akan terseleksi oleh alam dan kita akan terelemininasi dari persaingan intelektual yang sangat ketat ini.
Menyikapi hal-hal tersebut, IPNU haruslah membuat gerakan intelektual dalam lingkup organisasinya. Memang sudah tidak zamannya lagi ketika sebuah organisasi keagamaan seperti IPNU hanya mengurusi tentang keagamaan saja, tetapi juga harus berfokus pada pengembangan intelektual.
Gerakan-gerakan intelektual itu dapat dimulai dengan menyiapkan generasi IPNU yang melek teknologi digital. Dalam hal ini, IPNU harus mampu untuk bersaing di dunia digital. Kita bisa lihat situs-situs web yang basisnya adalah keagamaan, khususnya Islam, kita sebagai NU belum menguasainya. Walaupun memang NU Online adalah media website yang besar di jagat maya, nyatanya kita masih balah saing dengan yang lainnya. Bahkan untuk kata kunci yang sebenarnya itu menjadi ciri khas NU pun kita kalah. Ambil contoh kata kunci qunut. Jika kita mencari di Google per hari ini, maka NU Online tidak akan muncul di halaman pertama. Bahkan tidak ada website Islam yang muncul di halaman pertama. Pada halaman pertama ini yang muncul adalah media-media mainstream atau dapat dikatakan media-media umum yang sifatnya mencari profit, seperti tirto.id, suara.com, inews, detik, dan tribunnews. Hal itu menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh IPNU sebagai generasi yang disiapkan untuk abad kedua NU. Untuk itulah, IPNU harus menciptakan ruang-ruang yang mampu menjadikan kader-kadernya mahir dalam dunia yang berbasis digital. IPNU harus menguasai softskill-softskill seperti desain grafis, penulisan, jurnalistik, pengoperasian media sosial hingga coding untuk pengoperasian web.
Selanjutnya, gerakan intelektual itu diarahkan untuk mengembangkan keilmuan-keilmuan dalam berbagai aspek. IPNU sebagai organisasi pelajar yang kader-kadernya adalah santri harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan sesuai bidangnya, tidak hanya fokus pada ilmu agama saja. Dalam hal ini, IPNU harus belajar setinggi-tingginya. Belajar setinggi-tingginya ini tidak hanya belajar di lembaga pendidikan tinggi saja, tetapi belajar di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun sesuai dengan bidang keilmuannya. Ketika IPNU tumbuh sikap tekun dan semangat belajar yang tinggi, kader-kadernya akan expert pada bidang keilmuan yang digelutinya. Lalu, untuk saat ini, masalah biaya bukanlah masalah tanpa solusi. Saat ini, banyak sekali beasiswa-beasiswa yang dapat digunakan oleh pelajar yang dapat diakses, sepert KIP-K dan LPDP. Di lingkup NU pun dari PCINU seperti di Sudan dan Tiongkok membuka beasiswa agar askses pendidikan ke luar negeri lebih mudah. Bahkan di lingkup IPNU sendiri pernah memberikan Beasiswa Kader Unggul kepada kader-kadernya yang punya semangat tinggi untuk belajar. Gerakan intelektual ini memang perlu adanya sinergi dari berbagai pihak agar tujuan tercapai, yaitu terbentuknya generasi ilmuan-ilmuan NU yang ahli sesuai bidang keilmuannya. Apabila berhasil gerakan intelektual ini berhasil, maka siap menyongsong abad kedua NU dengan memiliki para intelek atau cendekiawan yang expert dan menguasai setiap lini sesuai bidang keilmuan.
Penulis: Muhammad Selamet Rifa’i (Sekretaris PKPT IPNU Universitas Negeri Semarang)