Sampai saya menulis ulang salah satu BAB di Buku Biografi Mbah Tolchah ini, saya masih merasakan keadaan-keadaan yang begitu mengusik terkait IPNU dan PMII. Di banyak daerah IPNU-PMII selalu bersinggungan, dengan rentetan alasan ini-itu. Sayangnya singgungan ini tidak melulu baik. Tidak bisa kita pungkiri, ada beberapa sikap kader PMII yang meremehkan status ‘keterpelajaran’ sehingga melakukan doktrinasi di tataran mahasiswa untuk tidak perlu mengurusi IPNU. Di samping itu, kader IPNU sendiri pun banyak melakukan doktrinasi bahwa IPNU ini lebih bermanfaat karena bersentuhan langsung dengan masyarakat, bukan sebatas sohibul wacana.
“Ketika kami aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pak Tolchah Mansoer adalah pembina PMII Yogyakarta yang sesungguhnya. Kedekatannya dengan mahasiswa, terutama PMII, menjadikan dia sebagai guru dan tokoh yang menyelesaikan berbagai persoalan. Hampir setiap minggu kami datang ke rumahnya di komplek Colombo 21”, terang Drs. H. Slamet Effendy Yusuf (Ketua Cabang PMII Jogja 1972)
Gagal paham kader IPNU-PMII sejatinya hanya perlu diberikan obat, yakni: kembali membaca sejarah dengan teliti. Meski bagaimanapun, PMII adalah peninggalan terakhir Pak Tolchah di masa kepemimpinannya di IPNU. Hingga akhir hayatnya, beliau sangat konsen dalam membantu perjuangan teman-teman mahasiswa di PMII. Sebagai kader IPNU sudah selayaknya, seperti apa yang dilakukan pak Tolchah, bersinergi dengan PMII. Bagi rekan-rekanita yang melanjutkan study ke perguruan tinggi, PMII merupakan rujukan logis dan ideologis disamping PKPT IPNU sendiri. Dan, bagi kader PMII akan sangat berdosa dan durhaka jika sampai melakukan upaya pengkerdilan IPNU di depan kader-kadernya, karena harus diakui dari rahim IPNU-lah PMII lahir. Energi kita tidak perlu lagi habis karena memperbandingkan keduanya. Karena masing-masing memiliki kekuatannya sendiri. Ada sesuatu yang bisa IPNU-PMII perjuangkan bersama dalam bingkai Ke-Indonesia-an, misalnya. Yakni, menghilangkan segala bentuk penjajahan di negeri ini, baik pikiran maupun perbuatan! Memperbandingkan keduanya hanyalah tingkah orang-orang nganggur!
Berikut naskah yang saya tulis ulang dari buku KH. Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor Yang Terlupakan, selamat membaca!
Pada periode terakhir kepemimpinan Tolchah, IPNU menorehsejarah penting dalam gerakan pelajar, yaitu membidani lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi kepada Nahdhatul Ulama. Keputusan pembentukan PMII telah melewati perjalanan panjang dengan segala dinamikanya. Aspirasi dibentuknya organisasi kemahasiswaan ini setidaknya sudah mulai tampak sejak Muktamar Pekalongan. Kian banyaknya mahasiswa yang aktif di IPNU menjadi latar belakang utama kemunculan gagasan ini.
Di Muktamar Pekalongan, beberapa mahasiswa aktivis IPNU mengadakan konferensi kecil dengan agenda menggagas berdirinya organisasi kemahasiswaan di lingkungan NU. Di antara mereka terdapat Cholid Mawardi, Moensif Nachrowi, Mahbub Djunaedi, Hartono, dan Ismail Makky. Penyusunan konsep pendirian organisasi diserahkan kepada Ismail Makky.
Gagasan tersebut selanjutnya digulirkan di tingkat Pimpinan Pusat IPNU. Rupanya,Tolchah Mansoer sangat berhati-hati menyikapi perkembangan wacana tersebut. Sebagai ketua umum PP IPNU, Tolchah Mansoer menilai bahwa mendirikan organisasi kemahasiswaan di Lingkungan NU, di tengah proses IPNU yang masih dalam tahap konsolidasi, merupakan ide yang prematur. Tolchah Mansoer juga menilai masih belum melihat indikasi-indikasi lain yang mendorong untuk itu. Oleh karena itu, pasca Muktamar II Pekalongan, PP IPNU tetap berpendirian bahwa NU masih belum memerlukan organisasi kemahasiswaan karena dua alasan. Pertama, PP IPNU masih melakukan riset seberapa besar massa mahasiswa NU. Kedua, seberapa jauh kemampuan organisasi yang akan dibentuk tersebut mampu berdiri sendiri sebagai sebuah organisasi mahasiswa.
Wajar jika gagasan ini membuat Tolchah Mansoer dirundung dilema, antara mengakomodasi aspirasi itu atau mempertahankan idealismenya untuk membuat IPNU sebagai arena penyatuan potensi kepelajaran NU. Secara pribadi, gagasan tersebut mengusik idealisme Tolchah Mansoer yang sejak lama terobsesi menyatukan potensi pelajar, mahasiswa dan santri NU dalam sebuah wadah organisasi IPNU. Baginya, cita-cita besar itu harus terus diperjuangkan. Persoalan mahasiswa NU yang belum diperhitungkan dalam pencaturan kemahasiswaan saat itu sama sekali tidak merisaukannya. Tolchah Mansoer merujuk kepada kasus IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang dapat berperan besar mewakili elemen pemuda PKI.
Tolchah Mansoer kuat memegang prinsip itu. Dalam obsesinya, IPNU akan dibentuk seperti IPPI sebelum lahirnya CGRI (Central Guru Republik Indonesia, organisasi guru underbow PKI). Disinilah mengapa ia getol untuk menyatukan pemuda-pemuda pelajar di pesantren dengan pelajar di luar pesantren. Namun, gagasan Tolchah Mansoer ini tidak mudah dipertahankan, mengingat dinamika dunia kemahasiswaan dan kepelajaran terus berkembang, terutama sebagaimana dirasakan di kota-kota besar.
Meski bertentangan dengan idealisme yang telah lama diperjuangkan, secara organisatoris Tolchah Mansoer tetap memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang bijak dan aspiratif. Ia tidak melakukan upaya pencegahan terhadap ide tersebut. Buktinya, pada Muktamar III Cirebon, wacana ini diakomodasi dan menjadi perbincangan resmi Muktmar. Gairah mahasiswa NU ini rupanya mendapat apresiasi khusus peserta Muktamar. Banyak peserta muktamar yang berpendapat bahwa saat itu merupakan waktu yang tepat dalam menentukan status mahasiswa NU yang berada di dalam IPNU. Banyak cabang IPNU yang memandang perlu dibentuknya organisasi khusus bagi mahasiswa.
Dalam pandangan junior sekaligus sahabatnya, Moensif Nachrawi, pada prinsipnya Tolchah Mansoer sepakat dengan usulan pendirian organisasi mahasiswa ini. Bahkan, pembentukan Departemen Perguruan Tinggi di IPNU (yang merupakan cikal bakal berdirinya PMII) muncul dari Tolchah Mansoer. Saat itu, perdebatannya lebih pada apakah harus sekarang pendirian organisasi kemahasiswaan dari kalangan nahdliyin itu, sementara IPNU baru saja berdiri dan belum berkembang. Mukatamar Cirebon akhirnya menyepakati dibentuknya Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Rupanya Muktamar masih belum memandang perlu membentuk sebuah organisasi mahasiswa NU tersendiri. Pembentukan Departemen Perguruan Tinggi itu sendiri sesungguhnya merupakan “kompromi” antara yang mendesak pembentukan organisasi mahasiswa dengan yang pendirian Tolchah dan kelompok yang mempertahankan penyatuan santri, pelajar dan mahasiswa di IPNU.
Ruang gerak baru berupa departemen khusus yang berada dalam naungan PP IPNU dalam perjalanannya ternyata tidak memuaskan mahasiswa NU yang makin membesar jumlahnya. Keberadaan Departemen Perguruan Tinggi ini lama-lama dipandang tidak lagi cukup untuk mewadahi kader-kader IPNU yang ada di Perguruan Tinggi. Departemen Perguruan Tinggi dianggap terlalu sempit dan tidak bisa mewadahi sepak terjang mahasiswa. Sementara rivaitas politik antara partai-partai pada saat itu berimbas ke mahasiswa, sehingga HMI disudutkan dan akan dibubarkan. Demikian juga PKI semakin agresif. Di sinilah NU harus punya organisasi mahasiswa. Mereka tidak sabar lagi menunggu saat-saat di mana IPNU mahasiswa mengalami peristiwa pahit saat mengikui Kongres Pemuda se-Indonesia di Bandung. PB Ma’arif pun menyempatkan untuk berkirim surat kepada PP IPNU agar segera memberikan kejelasan terhadap organisasi mahasiswa NU.
Bagi M. Said Budairy, pembentukan organisasi kemahasiswaan NU ini menjadi penting mengingat kenyataan bahwa ada kebutuhan yang berbeda antara pelajar dan mahasiswa. Program untuk pelajar berbeda dengan program untuk mahasiswa. Di samping terdapat federasi untuk lingkungan organisasi pelajar, ada juga federasi tersendiri untuk lingkungan organisasi mahasiswa. Jika NU tidak memiliki organisasi kemahasiswaan, ia tidak akan punya perwakilan di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dan Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI), misalnya.
Aspirasi ini menguat dan menemukan momentumnya dalam Konferensi Besar I IPNU yang berlangsung di Kaliurang Yogyakarta pada maret 1960. Selain membahas beberapa agenda besar lainnya, forum tersebut juga mengevaluasi persoalan mahasiswa aktivis IPNU yang ditangani secara khusus dalam Departemen Perguruan Tinggi, di mana mereka menemukan bahwa persoalan tersebut ternyata masih belum tuntas. Akhirnya, Forum Konbes medapat kesempatan mendengarkan masukan dari Ismail Makky tentang perkembangan persoalan kemahasiswaan dikalangan NU. Uraian jelas Ismail Makky tersebut dijadikan referensi peserta Konbes untuk melahirkan sikap. Pada Sidang Acara II (pada 16 Maret 1960), Konferensi Besar IPNU Kaliurang memutuskan bahwa di bidang kemahasiswaan, diperlukan adanya organisasi mahasiswa NU yang secara organisatoris administratif terlepas dari IPNU.
Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, PP IPNU mempercayakan kepada Ismail Makky untuk melakukan konsolidadi dan persiapan pembentukan organisasi kemahasiswaan tersebut. Penunjukan Ismail Makky dilakukan karena saat itu ia adalah koordinator Departemen Perguruan Tinggi IPNU, di samping Ismail Makky merupakan salah satu pelopor gagasan organisasi kemahasiswaan ini. Dalam kenangannya, Tolchah Mansoer lah yang langsung menunjuknya. “Is, garap ini sama Mahbub (Mahbub Djunaedi) dan Cholid (Cholid Mawardi),” tutur Ismail Makky menirukan Tolchah Mansoer kala itu.
Tugas berat ini kemudian ditindaklanjuti Ismail Makky secara cukup sistematis. Sebagaimana perintah Ketua Umum, ia segera melakukan konsolidasi dengang mahasiswa IPNU lainnya: Mahbub Djunaedi, Cholid Mawardi, Shobih Ubaid, Hasbullah HS, dan seorang kader dari Banjarmasin. Tim kecil ini dibentuk untuk menyusun sebuah draft pemikiran pembentukan organisasi kemahasiswaan dilingkungan NU. Salah satu hasil tim kecil adalah menyepakati untuk segera mengadakan pertemuan lanjutan yang cakupannya lebih luas. Disepakati, pertemuan tersebut digelar di Surabaya.
Kondisi finansial internal IPNU yang baru saja mengadakan Konferensi Besar tidak menyurutkan semangat untuk menyelenggarakan pertemuan perintisan organisasi mahasiswa tersebut. Sebab, pada hakikatnya perintisan organisasi mahasiswa tersebut merupakan peaksanaan hasil Konferensi Besar Kaliurang. Keberangkatan rombongan mahasiswa Yogyakarta dikoordinir oleh Moensif Nachrawi dan Hisbullah Huda, fungsionaris PP IPNU yang bertugas mencari dana keberangkatan ke lokasi pertemuan. Tolchah Mansoer yang berhalangan hadir di Surabaya, menitipkan sejumlah dana untuk kelancaran acara. “Saya yang diutus Tolchah ke Surabaya untuk mendeklarasikan berdirinya PMII pada 17 April 1960. Dari Yogyakarta yang berangkat adalah Ismail Makky dan saya sendiri. Bahkan, Tolchah memberikan uang saku untuk ongkos perjalanan ke Surabaya. Itu membuktikan bahwa Tolchah sangan apresiatif dengan berdirinya organisasi mahasiswa tersebut,” tutur Moensif Nachrawi mengenang.
Pertemuan tersebut berlangsung pada 17 April 1960 atau bertepatan dengan 21 Syawal 1379 H, bertempat di perguruan NU Wonokromo Surabaya. Meski hanya dengan agenda tunggal, yaitu follow up atas gagasan pendirian organisasi kemahasiswaan NU, pertemuan tersebut berlangsung selama satu minggu. Hadir dalam pertemuan tersebut sebanyak 13 orang, yakni: Ismail Makky (Yogyakarta), Moennnsif Nachrawi (Yogyakarta, M. Said Budairy (Jakarta), Cholid Mawardi (Jakarta), Moch. Shobich Ubaid (Jakarta), Hisbulloh Huda (Surabaya), Makmun Sjukri, BA (Bandung), Hilman (Bandung), Nuril Huda Suady HA (Surakarta), Laily Mansur (Surakarta), Abdul Wahab Jaelani (Semarang), M. Cholid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Peserta pertemuan tersebut merupakan hasil pemantauan Ismail Makky sebagai satu-satunya orang yang mendapat mandat dari PP IPNU sekaligus mempertanggungjawabkannya di kemudian hari.
Forum tersebut menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, menyepakati berdirinya organisasi mahasiswa NU dengan nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”, disingkat PMII. Kesepakatan tentang nama ini dicapai setelah melalui perdebatan panjang dan alot. Kedua, susunan peraturan dasar organisasi yang dalam Mukadimahnya jelas dinyatakan bahwa “PMII merupakan kelanjutan/mata rantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU”. Ketiga, menetapkan 17 April 1960 yang bertepatan dengan 21 Syawal 1379 sebagai hari lahir PMII. Pada hari itu juga, Peraturan Dasar PMII resmi diberlakukan. Keempat, musyawarah juga memutuskan pembentukan formatur yang terdiri dari tiga orang, yaitu Mahbub Djunaedi sebagai Ketua Umum, A.Chalid Mawardi sebagai Ketua Satu, dan M. Said Budairi sebagai Sekretaris Umum PP PMII periode pertama.
Tak pelak, berdirinnya PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang dibidani oleh IPNU tersebut mendapat tanggapan beragam. Oleh karena itu, pada 21 Mei 1960, PP IPNU mengeluarkan siaran No. XIV/PP/60 yang dikirim ke PW IPNU dan PC IPNU di seluruh Indonesia. Siaran tersebut berisi informasi tentang kronologi dan penjelasan resmi tentang pendirian PMII. Siaran yang ditandatangani oleh Tolchah Mansoer dan Moensif Nachrawi tersebut juga berisi penjelasan tentang kedudukan mahasiswa dalam IPNU, kedudukan Departemen Perguruan Tinggi IPNU, dan kedudukan pesantren dalam PMII.
Sikap yang diambil oleh Tolchah Mansoer menunjukkan bahwa ia adalah seorang organisatoris yang bijak dan demokratis. Meskipun pada awalnya ia keberatan dengan pembentukan organisasi kemahasiswaan di saat IPNU sedang bekerja keras untuk melakukan konsolidasi, namun karena aspirasi ini terus berkembang dan dipandang sebagai kebutuhan oleh banyak kadernya, Tolchah pun akhirnya tidak hanya merestui, melainkan mendukung penuh usaha ini. Hal ini dibuktikan dengan keputusannya untuk menunjuk Ismail Makky untuk menindaklanjuti mempersiapkan pendirian organisasi tersebut serta mengupayakan dana bagi pelaksanaan musyawarah mahasiswa di Surabaya. Perjalanan panjang lahirnya PMII menunjukkan dengan jelas bahwa PMII dilahirkan oleh IPNU secara kelembagaan. Bahkan, dimasa-masa selanjutnya, Tolchah berulang kali menegaskan bahwa PMII adalah anak IPNU, karena dilahirkan oleh IPNU.
Pergulatan diatas menempatkan Tolchah Mansoer sebagai figur sentral yang sangat menentukan dalam pembentukan gerakan pelajar dan mahasiswa di lingkungan NU. Aktivitasnya dalam organisasi sejak kecil membuat Tolchah sangat matang dalam dunia gerakan muda dan gerakan sosial selanjutnya. Di mata Tolchah, organisasi adalah wahana untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Organisasi memberi bekal kepada para anggota berupa keterampilan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, serta mendidik dan menyadarkan masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. IPNU didirikan dengan cita-cita mulia, yaitu berdedikasi kepada masyarakat. Penegasan ini dikemukakan Tolchah sebagai berikut :
Saya masih djelas teringat akan masa2 awal IPNU ini didirikan bersama2 dengan para sponsors, pendiri2 organisasi kita ini. Waktu itu bekal kami tidak lebih dari tawakkal dan kejakinan teguh, bahwa pada suatu saat organisasi kita akan mentjapai kedjajaanja, berdiri setaraf dengan organisasi2 lain dalam menjumbangkan karyanja kepada masjarakat.
Tapi bukanlah kedjajaan dan keagungan organisasi itu jang menjadi tjita-tjita utama, bukan dimaksudkan organisasi itu menjadi unggul segala-galanja, tapi bagaimana organisasi itu bisa memberikan sumbangan kepada masjarakat dalam segala bidangja, bidang materiil dan lebih2 spirituil. Tudjuan organisasi masih jauh; apa jang nampak di depan mata kita ini hanja sekelumit jang tidak banjak artinja.
Untuk tercapainya izzul islam wal muslimin dan masjarakat adil dan makmur jang diridhoi Allah tidak akan djatuh begitu sadja dari langit. Masih diperlukan karya2 jang luar biasa. Tugas2 masih membentang di hadapan kita. Dan bukan orang lain jang akan mengerdjakannja, melainkan kita sendiri, angkatan muda jang penuh spirit, energy dan ide2 jang dinamis ini.
Tolchah terus berupaya memotivasi dan menggerakkan kader organisasi agar dapat berkarya, yang berarti berkhidmat dalam masyarakat. Tolchah juga dengan tegas menginginkan kader IPNU “membumi” dan tidak tercerabut dari masyarakat. Kader IPNU harus terjun dan berkecimpung melakukan kerja-kerja nyata dalam masyarakat. Dalam hal ini Tolchah menegaskan:
Sifat jang karakteristiek ada pada IPNU ini pada hakekatnja untuk tidak mendjadikan IPNU ini merasa golongan elite, merasa mempunjai harga diri jang besar dan penuh dengan ketjongkakan oleh karena dirinja termasuk golongan terpeladjar. Tidak, sifat dan pengetahuan serta djiwa ke-kyahi-an dan ke-santeri-an harus tetap ada. Kita djangan membuat diri kita terpisah dari masjarakat. Dan harus kembali kepada masjarakat serta berketjimpung di dalamnja. Untuk itu, sekalipun nampak perbedaan jang djauh ketjakapan otak kita dari masjarakat, adalah tidak bidjaksana kalau kita menganggap kita ini golongan bangsawan fikir. Tidak, kita berpengetahuan adalah untuk mendjadikannja pedoman bagi kita, dan atas dasar itu kita memimpin masjarakat kelak. Dan, oleh karenanja kita harus tidak sadja dekat dan tidak mendjauhi masjarakat, tetap sekali lagi, terdjun berketjimpung ke dalam dan di dalam masjarakat.
Pendirian ini tampaknya dipegang kuat dan terus dikampanyekan oleh Tolchah. Dalam pidato resminya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU pada Muktamar IV di Yogyakarta, ia kembali menegaskan:
Tjita2 daripada Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama’ jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite didalam masjarakat. Tidak. Kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi jang dekat dengan masyarakat. Oknum jang berbuat karena ilmunya. Dan berilmu tapi jang mau berbuat dan beraal. Sungguh akan merupakan malapetaka jang amat besar djika negara dipimpin oleh orang-orang jang tidak berilmu. Kita tidak menjandarkan semata-mata kepada kariere, lebih2 kariere dengan kekosongan ilmu dan bekal dalam kepala.
Penegasan Tolchah tersebut dirasa sangat penting bagi peneguhan komitmen organisasi sebagai bagian dari masyarakat sipil yang lahir dan berkembang dari basis sosial tradisional. Pernyataan tersebut seperti menjadi “platform” bahwa IPNU lahir untuk masyarakat, bukan untuk organisasi itu sendiri, terlebih untuk kepentingan para elitnya. Bagi Tolchah, pendirian tersebut juga tertanam dalam-dalam dan menjadi “karakter” pribadi pada perjalanan selanjutnya.
Tolchah Mansoer mengakhiri kiprahnya sebagai Ketua Umum PP IPNU pada 1961, melalui Muktamar IV IPNU di Yogyakarta. Kepemimpinan IPNU selanjutnya dipegang oleh Ismail Makky sebagai Ketua Umum dan Moensif Nachrawi sebagai Sekretaris Umum. Meskipun sudah demisioner, Tolchah masih memberikan perhatian yang besar terhadap perjalanan IPNU pada masa-masa selanjutnya. Ide-ide Tolchah terus dikembangkan dalam kepemimpinan IPNU berikutnya. Meski sudah tidak menjadi Ketua Umum IPNU, di era Ismail Makky misalnya, ia masih suka mengisi pertemuan-pertemuan IPNU sebagai salah seorang pendiri.
Perhatian Tolchah terhadap IPNU bahkan masih terus dicurahkan sampai masa-masa berikutnya. Asnawi Latif, ketika menjabat Ketua Umum IPNU, mengaku masih banyak dibimbing oleh Tolchah Mansoer. Suatu saat ketika IPNU mendapat “jatah kursi” untuk mewakili NU duduk di DPRGR, sebagai penasehat Tolchah mengingatkan Asnawi Latif agar tidak terseret dalam politik praktis. Bahkan, menurut pengakuan Asnawi Latif, Tolchah Mansoer sempat memarahinya karena ia dianggap terlalu larut dalam politik. Barangkali ini juga bisa dibaca sebagai usaha Tolchah agar IPNU tidak dipolitisir.
Perhatian dan keakraban Tolchah dengan IPNU dan para junior-juniornya tampak dari surat-menyurat antara Tolchah Mansoer dan bebrapa juniornya, seperti Fahmi Djakfar Saifuddin, Mahbub Djunaedi, dan Asnawi Latif. Dalam sebuah surat yang ditulis pada 12 Mei 1975, Tolchah membanggakan teman dan yuniornya yang aktif di Jakarta. Tolchah mengungkapkan:
Ada rupanya masih terpelihara baik semangat idealisme.
Itu saya lihat dalam rapat, sikap, dan cara penyelenggaraan pertemuan. Dan saya berdo’a, mudah-mudahan itu terpelihara terus.
Ya mudah-mudahan.
Mengapa saya berkata begitu, sebab Jakarta, tetapi juga daerah lain, bis amembuat orang berubah. Ada-ada saja sebab yang membuat perubahan. Kalau perubahan itu baik tidak mengapa, tetapi kebanyakannya jelek. Dan tidak luput pula saya sendiri. Karena itu saya mengharap do’a adik2 di Jakarta. Atau mari kita saling berdo’a semoga kita tetap seperti adanya sekarang ini memang semangat. Artinya sekalipun kelak mendapat apa-apa.
Demikianlah, Tolchah bertindak sebagai senior yang memiliki perhatian besar terhadap para penerusnya. Ia selalu menyakinkan penerusnya tentang pentingnya menjaga mandat organisasi. Di samping masih sering berkirim surat dan menyempatkan datang ke Jakarta, sebagai wujud perhatian dan kepeduliannya terhadap organisasi yang dulu dirintisnya itu, Tolchah selalu datang pada setiap Kongres IPNU. Ia terus memotivasi para kader untuk mengembangkan budaya intelektual dalam organisasi dan kehidupan masyarakat.
Tolchah memang prototype organisatoris intelektual yang sukses dalam dunia akademik dan organisasi. Kelebihan Tolchah dalam penguasaan keilmuan umum dan agama telah menjadikannya bak “generasi ideal” sebagaimana yang dicita-citakan IPNU sejak berdirinya. Bagi para penerusnya , Tolchah merupakan inspirator bagi munculnya para intelektual di lingkungan NU. Ia telah banyak menginspirasi para penerusnya di IPNU dan PMII untuk mengikuti jalur akademis Tolchah yang memilih studi di bidang keilmuan umum. Jiwa IPNU ini melekat pada diri Tolchah hingga masa tuanya,yaitu menjadi intelektual sekaligus agamawan. Dunia politik yang pernah dijalaninya tidak sedikitpun mengubah karakter dan komitmen keilmuan dan keagamaannya; sebaliknya, karakter itu menjiwainya dalam aktivitas politik.
2 Comments
[…] Sumber : https://ipnujateng.or.id/tolchach-ipnu-dan-pmii/ […]
[…] Tolchach, IPNU dan PMII […]