Basecamp IPNU-IPPNU Purworejo terletak tidak jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar 2 Km saja dari alun-alun kota Purworejo. Namunnyatanya memang cukup jarang di rawuhi sesepuh. Mungkin kemasan yang memang anak muda banget bikin para sesepuh garuh atau bahkan grogi. Padahal, sekali-kali saya pengen membisikkan sesuatu, “Kesini romo, biar awet muda”.
Jadiii, suatu Maghrib di bulan Desember ketika K.H. Romli Hasan melakukan sidak basecamp, ada perasaan senang yang diaduk-aduk di blenderdengan kecemasan-kecemasan. Saya menyambut dan mempersilahkan beliau duduk. Senyum terindah dan teramah saya kembangkan. K.H. Romlipun membalas dengan tidak kalah indahnya, sampai kemudian cetarrr
“Dziba’ nya mana? Di basecamp ada Dziba’ nggak?”, tanya beliau
“Wonten kyai”, sahut saya.
“La mana?”
Karuan saya gelagepan dan sesak nafas mendadak. Saya ingat di basecamp ada Dziba’ tapi entah sudah sejak kapan tidak pernah saya sentuh apalagi baca. Tampaknya yai Romli bisa membaca kegelisahan itu.
“Piye cah IPNU kok ra nduwe Dziba’? Piyee iki?”
“Jeh, yai. Ngenjang segera diadakan pengadaan Dziba’”, jawab saya berusaha memecah rasa.
Tidak lama setelah itu, yai Romli pamitan dan melanjutkan perjalanannya. Belum sempet ngopidan udud, karena memang malam itu beliau ada keperluan. Nah, kunjungan-kunjungan dari sesepuh seperti ini sangat menggembirakan bagi penghuni basecamp. Maklum, anak muda memang tempatnya lupa dan kebablasan. Saking asyiknya dengan acara dan pemikiran ini-itu, akhirnya hal-hal yang bersifat religius yang sudah didapatkan dari pesantren menguap. Selama ini, sesepuh yang sering menyempatkan mampir hanya Abah Fahrurdan Yai Anang saja.
Salah satu tanda kebablasan yang lain adalah mulai hilangnya tradisi-tradisi amaliyah NU di acara-acara organisasi. Hal ini perlu kita instropeksi dan jadikan bahan kritik untuk diri sendiri. Di setiap pembukaan Makesta atau acara pengkaderan sudah waktunya diwajibkan mencantumkan tahlil di manual acara. Begitupun acara seperti maulid bisa dipatenkan untuk kegiatan ba’da Maghrib. Seringkali hal ruhaniyah ini tidak mendapatkan ruang karena alasan sepele. Acara pembukaan molor, waktu jadi sempit, panitia kemrungsung. Hadeeh. Yaaaaa njuk begitu lah.
Yupp, memang sudah saatnya kita kembali nggugah atau membangunkan sisi ruhaniyah kita kembali. Bahkan sebelum rapat-rapat IPNU-IPPNU pun sangat layak selalu di dahului dengan tahlil. Ada banyak manfaat yang didapatkan ketika kita memulai suatu rapat dengan tahlil. Pertama, dengan mengirim fatihah dan doa kepada poro sesepuh, menunjukkan bahwa kita selalu berusaha menyambung rasa dengan para pendahulu kita. Tahlilan ini adalah upaya kita untuk menghadirkan Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan sesepuh yang lain di rapat-rapat kita. Kedua,dengan berulang kali menyebut nama beliau, mengirimkan fatihah dan doa, otomatis kita akan selalu teringat dengan nafas-nafas perjuangannya. Mengingat cita-cita dan tujuan Nahdlatul Ulama didirikan. Agar dalam setiap kegiatan yang lahir bukan hanya euforia atau ceremonial belaka, namun benar-benar inti perjuangan yang kita cita-citakan. Ketiga, dan yang paling penting adalah kita berusaha mengembalikan segala perbuatan kita kepada sang Khaliq. Bacaan-bacaan dzikir adalah upaya kita untuk melangitkan perjuangan kita. Kita harus sadar bahwa tidak ada kekuatan apapun kecuali dari Alloh SWT. Tahlil ini ibarat lampu. Kita tidak pernah bisa leluasa rapat di kamar yang gelap, begitupun seharusnya kita sadar bahwa kita tidak bisa berfikir jernih dan mendapatkan petunjuk ketika ruhaniyah kita padam.