Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melakukan pekerjaan ma’ruf dan melarang bertindak munkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam.
Pengertian tersebut dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an 104 surat Ali Imran dan ayat 125 surat al-Nahl. Dari sini dapat dibedakan antara dakwah dan di’ayah (propgaganda) serta indoktrinasi. Dalam di’ayah, yang dipropagandakan belum tentu sesuatu yang baik. Sedangkan dalam indoktrinasi terdapat unsur paksaan. Berbeda dengan dakwah, di mana sesuatu yang didakwahkan tentu baik dan tidak mengandung unsur paksaan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran.
Dakwah Islamiyah dituntut kemampuannya untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain.
Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya.
Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da’i-da’i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da’i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas).
Ini berarti pelaku dakwah (da’i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau’dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
Sebagai organisasi kaderisasi pertama ditubuh Nahdlatul Ulama, sangalah penting bagi IPNU IPPNU untuk menerapkan strategi dakwah yang efektif guna meningkatkan kuantitas dan kualitas kader. Dengan ajaran islam ahlussunnah wal jamaah, IPNU IPPNU harus mampu berbicara banyak tentang berjalannya Islam Nusantara yang dengan cepat dapat diterima di Indonesia. Serta menyebarkan keteladanan Ulama Ulama NU yang selalu mengedepankan kepentingan persatuan kesatuan Bangsa dan Negera diatas segalanya.
Di era millennial sekarang dakwah bukanlah menjadi hal yang sulit. Berbagai media sosial akan membantu kita untuk dapat menyampaikan pesan-pesan kedamaian kepada sesama. Proses pendekatan terhadap kader harus dilakukan secara everytime. Disinilah posisi IPNU IPPNU sebagai organisasi kaderisasi perlu kiranya dikuatkan kembali.
Sumber : Nuansa Fiqih Sosial (KH MA Sahal Mahfudh)