Soal Robot-Robotan di Masa Depan

Pukul 7 dini hari, di salah satu kamar Basecamp Sibak yang ‘tumben’ udaranya begitu hangat dan tanpa gangguan nyamuk-nyamuk Aides Aigepti yang seperti menjadi musuh konco-konco basecamp beberapa tahun ini; dua orang pemuda, meski masih sembari terlentang di lantai berdiskusi tipis-tipis. Katakan pemuda itu Bejo dan Khabibpokile Al-jawy.

Dengan mendekap buku Takdir yang menceritakan Riwayat Pangeran Diponegoro-nya Peter Carey (sengaja mendekap buku sejarah agar dramARTic); mata Bejo menerawang jauh ke masa robot-robotan nanti. Bejopun menghela nafas dalam-dalammmmm, kemudian ‘Pretttt’; disusul suara asing yang memenuhi ruang empat kali empat itu.

Segera saja Pokil, sapaan tidak resmi dari Khabib menatap Bejo tajam-tajam. Tatapan Bejo sendiri tidak kalah tajam, mencoba membela diri; karena peristiwa yang baru saja terjadi hanyalah peristiwa alam.

“Kil, saya fikir kamu harus mulai menulis. Soal apapun yang ada disekitarmu”

Pokil tampaknya lupa dengan kentut tadi, dan pikirannya melayang jauh entah ke alam mana.

“Saya ndak bisa dan ndak biasa nulis”, ucapnya lirih. Nadanya menyiratkan harapan namun juga ganjalan.

“Pada awalnya, semua orang tidak terbiasa. Hal naluriyah pertama seorang bayi hanyalah minum susu mami. Berbicara, berjalan hingga menulis butuh proses, killl”, terang Bejo.

“Mulailah menulis dari yang ringan, aneh rasanya kamu yang begitu suka membaca tidak kunjung juga belajar menulis. Ini menurutku, bagaimana kalau kamu mulai menulis yang ringan-ringan dari pengetahuanmu yang dalam itu”, sambung Bejo.

“Misalnya kakanda? Saya sering berhenti di tengah jalan dan kehilangan inspirasi”, sela Pokil yang matanya masih menerawang ke atas.

“Aku lihat dirimu suka sekali membaca buku-buku keagamaan dan buku walisongo. Kenapa itu ndak coba kamu eksplor?”, Bejo mengusulkan

“Itu belum seberapa Kanda… Saya justru berfikir apa gunanya kita membaca buku banyak-banyak; Babad Diponegaran yang kamu pegang itu, Kisah Soekarno hingga Walisongo kalau pada akhirnya kita hanya akan kembali ke desa dan belajar hal-hal yang jauh lebih sederhana. Untuk apa Kanda? Saya ini siapa”, tanya Pokil gamang.

“Tunggu duluuuu. Jangan kecilkan dirimu. Lantas siapa kalau bukan dirimu sendiri yang akan membesarkan jiwamu. Kita mungkin tidak memiliki trah Diponegoro hingga Soekarno, apalagi maqam Walisongo. Tapi kita bisa menjiwai perjuangan mereka. Jiwa dan akhlaq yang luhur tidak memilih-milih badan. Ia perlu kita tumbuhkan sendiri. Milikilah semangat Soekarno yang mampu menerjemahkan Marxisme dengan efektif, juga miliki mental Diponegoro yang mau rekoso bersama wong cilik meski keturunan Raja. Tirulah dakwah walisongo yang memperhatikan kearifan-kearifan lokal. Untuk memiliki akhlak nabi, tiada jaminan cukup dengan nasab atau pakaian arab. Kamupun bisa mencoba untuk memiliki akhlak akhlak nabi sedikit demi sedikit”, Bejo mencoba membesarkan jiwa adik seperguruannya itu.

Pokil masih diam. Kini pikirannya semakin melayang ke antah berantah. Membayangkan berbagai kemungkinan dan ketidakmungkinan dalam hidupnya.

“Sekali lagi, menurutku kau sangat sanggup menulis… Mulai dari hal yang sangat sederhana. Kalau bukan itu, apa yang akan kamu tinggalkan nanti untuk anak cucumu. Harta?”, selidik Bejo.

“Tentu bukan Kandaa”, jawab Pokil.

“Aku membayangkan, nanti anak-anak kita akan sampai ke masa robot-robotan. Serba otomatis dan serba mudah memang. Namun aku takutkan anak cucu kita tidak akan punya lagi waktu seperti ini. Merasakan sentuhan kulit ketika bersalaman. Atau saling tatap mesra penuh ketulusan. Ngobrol dan main layangan dengan tetangga. Aku takut nanti mereka akan menyerahkan segala urusan pada robot-robotan. Mulai dari bumbon hingga memasak, mulai dari urusan persahabatan hingga percintaan. Semuanyaaa diserahkan pada robot

Sebab itu, bisa jadi menulis hal sederhana seperti yang kita lakukan ini akan sangat bermanfaat nanti. Bahwa cangkruk dan ngopi seperti ini pernah menjadi sejarah. Bahwa manusia pernah saling memberi dan meminta pendapat dengan baik-baik. Bahwa manusia pernah saling kunjung mengunjungi dalam hal-hal yang kelihatan tidak penting; ya ngobrol saja atau sekedar silaturahmi. Aku pikir di jaman robot-robotan nanti tulisan-tulisan yang kamu tulis dengan tulus itu akan berguna untuk kesehatan budi anak cucu kita.”

“Memang benar apa yang Kanda utarakan. Saya bahkan berfikir jaman robot-robotan itu sudah dimulai dari sekarang Kanda. Semua serba mudah. Mau menjebloskan orang ke penjara cukup melalui facebook. Tahu facebook kanda?”, pokil pun ikut mengutarakan pendapat.

“Oooya tahuuuu. Coba kamu add akunku terlebih dahulu. Itu yang foto profilnya pake sorban putih. Biar ngehits kalau kata anak muda.”, Bejo bercanda mencairkan suasana. Namun Bejo segera meneruskan…

“Lagian, Kil, pengetahuanmu kan eman-eman kalau tidak dibagi ke anak cucu. Kamu bisa ceritakan tentang adu pesawat jet Amerika-Rusia hari ini, coba kamu singgungkan dengan ufo-teboknya panglima perang Demak beliau Raden Ja’far Sodiq atau yang kita kenal sebagai Sunan Kudus. Yang tentu bukan hanya soal tehnologi keduanya, tapi sumber kekuatan, filosofi dan apa yang diperjuangkannya sangat-sangat berbeda. Jangan sampe anak kita salah kiblat. Ini tanggung jawab kita”, jelas Bejo lagi.

“Atau kamu juga bisa menulis hal sederhana di surau-surau soal nikmatnya belajar alif-ba’; tentang nikmatnya mengenal huruf arab pertama kali dari kyai kampung. Bukan tidak mungkin anak-anakmu hanya akan mendengarkan murotal tanpa tau alif-ba’ yang menjadi bagian-bagian terdalam murotal itu sendiri.

Mungkin sekali, belajar alif-ba’ pada masa robot-robotan nanti hanyalah perilaku para sufi, berjalan satu kilometer saja mengunjungi tetanggapun juga bisa dianggap sufi karena semua cukup pakai robot. Pernahkah kamu bayangkan atau membanding-bandingkan, berapa jumlah derap langkah kita dibanding para nenek moyang kita? Ini bukan soal kita tidak bisa beranjak dari masa lampau; justeru ini pepeling bahwa zaman terus berubah, dan yang bisa menyelamatkan sisa-sisa kebaikan hari ini hanyalah tulisan-tulisan.”

“Mungkin benar apa kata Kanda. Setelah ini saya akan mulai menulis kisah percintaan saya dengan pujaan hati saya. Sebab filosofinya begitu dalam; perjuangan cinta yang tak juga berujung. Soal kesetiaan dan keteguhan perasaan”, ucap Pokil yang wajahnya kini menyiratkan aura positif.

“Ya baiklah kalau begitu. Aku mau update status dulu”, tutup Bejo dan jarinya mulai sibuk dengan benih robot di tangannya.

Bejo dan Pokil dalam salah satu quality tongkrongnya
Muhammad Hidayatullah

mbahdoyok

1 Comment

  • […] Curhatan itu bersifat personal (rahasia) dan tidak di umbar-umbar. Namun, bolehlah di jaman pra-robot yang dodomninasi sosial media ini kita mencoba memperluas maknanya; apalagi memang […]

Leave a Reply