Refleksi Idul Adha 1443 H : Semangat berkurban, semangat memperkuat rasa kemanusiaan kita

     Lantuan Takbir telah berkumandang diseluruh penjuru dunia seraya dengan mengagungkan kebesaran Allah SWT pertanda bahwa Hari Raya Idul Adha telah tiba dan  jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang paling utama dan puncaknya, yaitu wukuf di Padang Arafah. Para jamaah haji semuanya  memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit yang disebut sebagai pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka dari asal negara, suku, ataupun strata sosialnya karena semuanya sama-sama sederajat dan sama-sama berserah diri untuk mendekatkan kepada Allah SWT Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

     Disamping Idul Adha dinamakan sebagai hari raya haji, juga sering disebut sebagai  hari raya “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah SWT memberi kesempatan kepada kita semua untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka diberikan kesempatan untuk melaksanakan Qurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban seperti halnya: kambing, sapi kerbau, ataupun unta sebagai bentuk simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Mari kita tengok sisi historis dari perayaan hari raya Idul Adha ini, maka didalam pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, A.S dan Nabim Ismail, A.S. yaitu ketika Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menempatkan istrinya yang bernama Siti Hajar bersama Nabi Ismail A.S putranya, yang saat itu masih menyusu. Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya wahyu dari Allah SWT yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, A.S maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

Dalam keterangan Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah SWT itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah SWT menguji iman dan ketaqwaan Nabi Ibrahim A.S melalui mimpinya yang memang benar-benar terjadi, agar mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang gagah dan sehat ini, supaya kemudian dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh itu sangat mengerikan sekali. Kemudian peristiwa itu diabadikan dalam firman Allah SWT :

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya : ‘’Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As-saffat: 102)

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat-umat manusia dan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim A.S bersama Nabi Ismail A.S diatas, bagi kita harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yakni pada sisi hubungan antar manusia. Bahwa ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan  Allah SWT senantiasa mengandung dua aspek yang tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnallah) dan hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam sangat memerhatikan sisi nilai solidaritas sosial dan mengimplementasikan sikap kepekaan sosialnya melalui media ritual tersebut. Sebagai contoh saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup yang diperumpamakan seperti seorang duafa yang memenuhi kebutuhannya sehari-hari saja sangatlah sulit. Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial seorang muslim kepada sesamanya yang tidak mampu. Kehidupan didunia jika saling tolong menolong dan gotong royong kepada sesama dalam hal kebaikan merupakan ciri khas dari ajaran Islam.

Dalam agama Islam sendiri, sangat ditekankan untuk senantiasa mengedepankan rasa sikap saling tolong menolong kepada siapapun. Menolong dalam agama Islam juga tidak memperdulikan agama, ras dan suku apapun. Sebagaimana Rasulullah SAW telah banyak mencontohkan tentang bagaimana beliau menolong banyak orang tanpa melihat latar belakang orang yang ditolong tersebut. Salah satu contohnya yaitu ketika kebaikan Rasulullah SAW terhadap wanita buta Yahudi yang setiap harinya sering menghina Rasulullah SWT.  Jika terhadap orang-orang non-muslim kita tetap diperintahkan untuk berbuat baik dan tolong menolong, Tentu saja dengan saudara sesama muslim sendiri harus dapat lebih ditekankan lagi. Allah Berfirman:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ ٢٩

Artinya: ‘’ Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang  yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak     membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.’’ (QS. Al-Fath: 29)

 

Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim agar selalu ingat untuk siap sedia melaksanakan kurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung dan mampu, juga waspada atas godaan-godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti kesombongan, ketamakan, keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.

Maka dari itu, Ada ibrah yang harus perlu manusia sadari dan resapi untuk kemudian diambil hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan hari raya Idul Adha, bahwapada hakikat semua manusia adalah sama. Hal yang menjadi pembedanya dan membedakan hanyalah taqwanya kita kepada Allah SWT. Dan bagi seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji ataupun yang belum melaksanakan maka pada waktu wukuf dipadang Arafah itu sebagai pemberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan dan ibadah yang telah dilakukan di kehidupan dunia.

 

Wallahu A’lam Bis Showwab

 

Penulis : A’isy Hanif Firdaus, S.Ag.

A'ISY HANIF FIRDAUS

A'ISY HANIF FIRDAUS

https://ipnujateng.or.id/user/haniffhasyim_25/

Pelajar Nahdlatul Ulama Kota Bawang Merah

Leave a Reply