Solusi permasalahan kaderisasi pada tingkatan ranting sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Ranting sebagai ujung tombak organisasi memerlukan penanganan serius karena perjuangan sesungguhnya tersaji pada kepengurusan tingkat ranting. berbagai persoalan dihadapi pengurus ranting seperti bagaimana melakukan proses kaderisasi, berhadapan langsung dengan massa, lingkungan yang tidak ramah terhadap organisasi hingga permasalahan tidak adanya kader yang mau menjadi ketua ranting. Hal ini sering terjadi karena daya tawar posisi ketua yang kurang bagus, ditambah lagi identitas sebagai pemimpin yang dianggap kutukan. Dengan kata lain, seorang ketua ranting hanyalah orang yang “teraniyaya” dan terpaksa menjadi ketua karena tidak mampu mengelak saat “ditembak” menjadi ketua. Fenomena ini merupakan realita keseharian disebagian ranting yang terletak di Kabupaten Pekalongan.
Untuk itu diperlukan solusi cerdas dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Disadari maupun tidak, menyusutnya kader sebagian besar disebabkan oleh tingginya angka depresi pada tingkatan ranting. Inilah yang disebut sebagai perjuangan sesungguhnya. Problematika yang seringkali dijumpai Pengurus Ranting IPNU, antara lain :
Pertama, iklim berorganisasi yang tidak kondusif. Umumnya kader pada tingkatan ranting adalah pemula, sehingga rata-rata usia kader adalah pelajar yang masih bersekolah. Di sinilah permasalahan tersebut muncul, di satu sisi, mereka diuntungkan karena mampu berjuang tanpa harus terbebani kebutuhan hidup. Sedangkan dari sisi yang lain, keterbatasan finansial menjadi penghambat ketika harus ikut serta dalam iuran rutin. Kendala finansial ini juga kadang kala menjadi penghambat dalam progresifitas pengurus ranting.
Kedua, faktor budaya yang kurang mendukung. Beberapa ranting di wilayah Kabupaten Pekalongan tidak diuntungkan dengan kondisi sosio-geografis dan tata masyarakat di wilayah mereka. Budaya tradisional dan kekeluargaan kurang memberi tempat yang leluasa bagi terbentuknya organisasi yang baik. Sehingga pada kondisi IPNU di ranting hanya terkesan seadanya.
Ketiga, yaitu proses kaderisasi dan kepemimpinan yang gagal. Untuk beberapa hal, akan lebih mudah menangani organisasi dengan mengandalkan orang terdekat dan dapat dipercaya. Beberapa ranting dan anak cabang sudah menerapkan hal tersebut. Dikarenakan beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya berkomunikasi, maka beberapa ranting dan anak cabang lebih suka menyelesaikan program kerja dengan “team khusus” daripada harus bekerjasama dengan “orang lain” yang kadang belum terbiasa.
Empat, yaitu adanya kebijakan kembali ke sekolah. Pasca keputusan kongres Surabaya 2003, seluruh elemen kader mulai tingkatan atas sampai bawah nyaris larut dalam euforia perubahan. Setelah hasil kongres memutuskan untuk mengganti akronim “P” dari putra ke pelajar, seakan menciptakan gelombang “kepelajaran” menentang sebagian besar ideologi dan cara berpikir kader. Isu yang diangkat adalah tentang bagaimana mengembalikan IPNU menjadi organisasi pelajar, menjadikan kader sebagai insan terpelajar dan mengupayakan IPNU sebagai second school.
Dibutuhkan metodologi maupun petunjuk teknis yang menjadi rujukan teknis tentang bagaimana cara menghidupkan ranting dan memperbanyak kader serta kualitasnya. Selama ini hal tersebut memang luput dari perhatian pimpinan pusat. Permasalahan ini cukup seriusnya hingga mengancam eksistensi organisasi.
Berbagai alasan dikemukakan berkaitan tidak adanya metodologi tersebut. Yang paling sering dikemukakan adalah mengenai alasan kultur dan tipologi masyarakat yang berbeda. permasalah ini memperlukan penanganan yang berbeda sehingga urusan teknik menghidupkan ranting diserahkan sesuai kultur masing-masing daerah. Kadang kala sebuah metode sukses diterapkan disuatu ranting tetapi tidak ketika berada ditempat lainnya. Inilah yang menjadi beberapa faktor penghambat kaderisasi ditingkatan ranting.
Minimalnya, standarisasi yang baku dapat menjadi acuan bagi ranting yang baru terbentuk. khususnya sebagai pedomandalam hal teknis untuk melestariakan rantingnya. Memang sepintas terlihat sepele, tetapi justru hal ini yang menjadi kebutuhan beberapa pengurus guna menghadapi hengkangnya kader, minimnya peserta Makesta dan Lakmud, maupun terhambatnya kegiatan rutinan ranting.
Ahmad Ardabili