Keadaan di sekitar masih remang-remang saat lelaki paruh baya terbangun, dengan mata yang masih menahan kantuk. Kakinya melangkah perlahan menuju balkon, bau tanah yang bersatu dengan sisa-sisa hujan semalam menyeruak dengan khasnya. Lelaki paruh baya itu terbangun ketika mendengarkan suara takbir dari arah jalan. Aneh, ini bukanlah bulan lebaran.
“Barangkali hanya orang iseng. Mengganggu tidurku saja,” setelah bergumam, ia hendak melangkah kembali ke kamar. Namun urung, ketika mendengarkan suara takbir kembali.
“Bukankah ini belum bulan lebaran? Kenapa ada saja yang hobi mengganggu orang lain dengan suara-suara itu, berisik sekali” lelaki itu bergegas kembali mengamati jalanan. Lengang, matanya tajam menyelidik. Sejenak kemudian, dari ujung jalan, terlihat nyala obor menembus keremangan.
Lelaki paruh baya itu bernama pak Santoso. Dia memang terlahir di desa itu, desa yang masih terhitung tertinggal, terapit oleh selat malaka. Namun ia besar di perantauan. Dan baru kembali setelah usianya kepala lima, dengan istri dan anak-anaknya. Pak Santoso kemudian bergegas menuruni anak tangga, demi melihat dari dekat siapakah yang membawa obor dari ujung jalan sana?
Pembawa obor dari ujung jalan sana, semakin mendekat. Langkahnya pelan, namun pasti, menyusuri lorong-lorong waktu yang mungkin tidak akan kembali. Pak Santoso masih berdiri di depan gerbang rumahnya, menanti dengan beribu tanda tanya.
Seorang kakek berjalan dengan kepayahan, badannya membungkuk, seolah menopang beban yang begitu berat. Tangan kanannya memegang obor yang berkobar, nyalanya bertemu dengan sinar rembulan. Jalanan memang sepi, listrik di desa itu hanya akan menyala pada sore hingga malam hari. Tentu saja rumah-rumah mewah pengecualian dari hal tersebut. kakek itu semakin mendekat, kini kakek itu terlihatlah seutuhnya oleh pak Santoso. Jalannya yang membungkuk, rambutnya yang beruban telah mengabarkan seberapa lelah dan payah jalan yang ia lalui.
“Tunggu kek,” sergah pak Santoso ketika kakek itu melewatinya begitu saja, dengan masih menggemakan takbir.
Kakek itu berhenti seketika, memandangi pak Santoso yang memegang pergelangan tangan kiri kakek. Tercium aroma wangi, entahlah wangi bunga apa itu, dari tubuh kakek, “aneh” begitu pikir pak Santoso, siapakah kakek ini? apa yang sedang dilakukannya? Bahkan jika biasanya seorang yang lanjut usia berbau tidak sedap kakek ini justru berbau wangi.
“Apa yang kakek lakukan?” pak Santoso mengeluarkan pertanyaan, setelah kakek itu terdiam tanpa tanggapan sedikitpun. “Aku hanya mencari sesuatu yang hilang nak, maaf jika kakek tua ini mengganggu tidurmu. Subuh-subuh begini.” Jawaban yang halus, namun penuh dengan sindiran terlontar bersamaan dengan wajah lugu kakek.
Pak Santoso tampak bingung, otaknya mencari-cari makna ungkapan kakek. Tampaknya lelaki paruh baya itu, sudah terlampau menyatu dengan hiruk-pikuk ibu kota. Membuatnya lupa akan waktu subuh, dan juga bintang-bintang berjatuhan pada dini hari sebagaimana masa kecilnya di Desa ini.
“Apa yang kakek cari?” tanya pak Santoso kemudian.
“Nyala obor ini nak, juga pekikan semangat bocah-bocah yang berlarian memenuhi masjid ataupun langgar. Maaf kakek permisi dulu nak,” sang kakek dengan langkah yang payah menyusuri jalanan yang licin karena curahan hujan semalan, masih menggemakan takbir yang kian samar.
Pak Santoso, kini berdiri termangu di pinggir jalan. Merasa ada yang hilang, semenjak beberapa hari lalu. Kakek tua yang terbiasa membawa obor melintasi jalan depan rumahnya, tidak terlihat lagi selama beberapa hari ini. Ia bertanya-tanya kemana si kakek pergi?. Kini pikirannya beranjak, pada titik peristiwa beberapa hari yang lalu.
Dini hari saat fajar membelah langit, menyemburatkan warna jingga. Pak Santoso, kembali terbangun, hari itu genap seminggu pak Santoso selalu terbangun karena mendengarkan pekikan takbir dari ujung jalan yang tidak lain adalah suara si kakek. Diam-diam, pak Santoso mengikuti kakek itu. hingga tibalah sang kakek di depan masjid kecil yang tidak lagi terawat.
Kerindangan pohon beringin di depannya, menghalangi pandangan untuk melihat bangunan kecil itu seutuhnya. Daun dan ranting yang berjatuhan, menjelma lantai alam pada retakan-retakan tegel terasnya. Sejenak si kakek menaruh obornya pada papan di teras itu. lantas si kakek mulai mengambil sapu, membersihkan ranting dan deadaunan yang berserakan. Setiap kali membersihkannya, si kakek selalu menyebut asma “Allah”.
Pak Santoso, semakin penasaran. Hatinya bertanya-tanya apa gerangan yang akan dilakukan si kakek? Hingga akhirnya teras masjid itu terlihat bersih, bak lantai marmer di rumahnya. Kakek menggelar sajadahnya, sejenak si kakek tampak mengumandangkan adzan.
Beberapa menit kakek terdiam, tidak hanya menit hampir seperempat jam kakek terdiam. Sesekali menoleh, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sepi, lengang, hanya terdengar sayup-sayup angin yang membelai lembut mempertemukan satu ranting dengan ranting lainnya.
Pak Santoso masih bersembunyi, namun ia semakin mendekat. Agar lebih dapat menangkap apa gerangan yang dilakukan kakek itu.
“Sukarya-sukaryo, siapa yang sedang kamu tunggu? Bukankah bocah-bocah yang dulu sudah menghilang? Keterangan dunia telah menggelapkan mata mereka. Mereka tidak akan datang lagi” Kakek itu tampak berkata pada dirinya sendiri. Ada peluh yang menetes di kedua pipinya yang tinggal kerangka itu, mungkin umur telah merampas kesegaran tubuhnya. Waktu telah mencuri ketampanannya semasa muda.
Di tempat persembunyiannya, pak Santoso tersentak dengan kata-kata yang dilontarkan si kakek. Ingatannya melayang pada masa silam, masa kecilnya. Ia hampir lupa, saat kecil ia selalu berlarian dengan semangat yang menyala, sebagaimana nyala obor ditangannya. Setiap sore, dan pagi ia dan kawan-kawannya akan beramai-ramai datang ke masjid kecil ini.
Sukaryo, itulah ternyata nama sang kakek. Kakek itu masih larut dalam peraduannya, ketika mentari menyingsing, matanya tampak sembab. Bibirnya masih samar-samar melantunkan dzikir.
Itulah terakhir kali pak Santoso melihat si kakek, lantas bagai tertelan bumi, si kakek tak lagi muncul hingga kini. Tanpa di sadari pak Santoso sesenggukan, matanya kini sembab. Di antara keremangan cahaya, bayangan kakek tua dengan obornya muncul kembali lalu bergantikan dengan rombongan bocah-bocah dengan obor di tangannya. Mereka tampak lugu, bahagia, dengan semangat memekikkan lantunan puji-pujian untuk-Nya. Pak Santoso bangkit berdiri, menyeka matanya yang masih sembab.
Kini, berhari-hari pak Santoso menangis layaknya anak kecil yang kehilangan mainannya, tidak sedikitpun makanan masuk ke dalam tubuhnya, membuat istri juga anaknya kebingungan. Apa gerangan yang terjadi? Bibirnya terus-menerus menyebut nama Sukaryo, matanya menjadi lebam sebab tangisan yang tidak berhenti. Hingga datanglah sesepuh desa, demi melihat keadaannya yang semakin meresahkan keluarga.
“Tenanglah pak Santoso, Kyai Sukaryo sudah lama meninggal. Sejak lama, sejak engkau meninggalkan desa tercinta ini,” begitu sesepuh desa mengabarkannya, di sela-sela pak Santoso terus menyebut nama Sukaryo.
Mata pak Santoso berkilah tajam, tidak mungkin kakek tua itu sudah meninggal beberapa hari yang lalu dia masih menemuinya. Antara sadar dan tidak, pak Santoso bangkit berdiri, menyusuri jalan-jalan terjal, entahlah dia ke mana? Di belakangnya anak, istri, serta beberapa warga desa mengikuti. Hingga pak Santoso berhenti di bawah pohon beringin yang rindang. Ia kebingungan mencari-cari sesuatu, mondar-mandir. Tapi percuma, akhirnya ia hanya menangis mendapati gundukan tanah.
“Inilah makan Kyai Sukaryo, masjid kecil nan sederhana tempat kita membawa obor dengan semangat dulu telah lama roboh. Sehingga dijadikan sebagai makam Kyai Sukaryo,” ucap salah satu warga, temannya semasa kecil.
Kini, pak Santoso ingat. Kakek tua itu adalah guru mengajinya semasa kecil. Perasaannya kini bercampur aduk, mustahil apa yang di lihatnya beberapa hari yang lalu. Mungkinkah kakek itu datang untuk memperingatkannya akan keterlenaannya selama ini? entahlahlah, dunia ini terlalu sederhana bagi-Nya, namun terlalu mustahil bagi kita. Mungkinkah obor-obor itu akan hidup kembali?
Penulis bernama pena Husna Assyafa, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia pada tanggal 9 November 1994. Saat ini sedang belajar di IAIN Ponorogo, dan menimba ilmu di PPTQ Al-Muqorrobin Ponorogo. Saat ini aktif di organisasi IPPNU Wonogiri, dan juga beberapa komunitas literasi di Ponorogo. Cerpen-cerpennya yang menang dalam perlombaan di antaranya Ruang Cinta Untuk Negeri Kita (harapan III lomba cerpen IPPNU), dan Senja Bulan September (majalah madani Tulung Agung). Salah satu puisinya masuk dalam kategori puisi terpilih pada Lomba cipta puisi RUAS (Ruang Aksara) ke-3. Dan cerpennya yang berjudul Kang Musthofa memenangkan harapan II lomba yang diadakan Kemenag dalam rangka ‘Gebyar Hari Santri Nasional’ kategori santri, beberapa puisi-puisinya termuat di koran lokal. Karya penulis yang sudah di terbitkan berjudul Luka dan Cermin Cinta (2016, oleh Soega Publishing) berupa buku kumpulan cerpen. Buku antologi puisinya berjudul Melankolia Surat Kematian (Soega Publishising & komunitas RUAS, 2016). Sedangkan kumpulan cerpen bersamanya berjudul Almira dan Gholan (Spectrum Sutejo center, Ponorogo), Di Bawah Naungan Nur (Departemant Agama RI, 2016). Buku kumpulan cerpennya yang terbaru Kang Musthofa (STKIP Ponorogo & Terakata Jogjakarta, Februari 2017). Saat ini sedang merampungkan novelnya dan dua antologi puisi tunggalnya. Bisa dihubungi dengan kontak No. HP 085642310866. Fb : Husna Assyafa.