Tradisi ziaroh menjelang ramadhan simbol penghormatan terhadap leluhur
Tatkala saya masih duduk di Madrasah Aliyah Tarbiyatul Islamiyah Pucakwangi, guru saya—namanya Pak Arif—sering sekali bercerita mengenai kiai-kiai karismatik dan wali-wali Allah yang dikaruniai kemampuan luar biasa. Beliau mengisahkannya di sela-sela mengajar bagaimana cara menuntut ilmu yang baik sebagaimana termaktub dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Syeikh Az-Zarnuji. Saya selalu takjub—juga terinspirasi.
Kisah-kisah yang masih saya ingat hingga sekarang misalnya kisah Gus Dur yang memiliki ilmu laduni; ilmu titen soal masa depan atas izin Allah. Karamah Syaikhona Kholil Bangkalan yang bisa pergi ke Makkah begitu cepat naik daun kerocok hanya untuk salat asar. Juga karamah Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari yang belajar selama 120 tahun dalam mimpi bersama ulama-ulama besar seperti Imam Syafi’I dan Imam Ghozali yang sebelumnya telah wafat.
Dari sekian banyak kisah itu, favorit saya adalah kisah-kisah tentang Gus Miek, seorang wali Allah dari tanah Ploso, Kediri. Diceritakan, suatu ketika Gus Miek memancing di sungai bersama seorang pengasuh yang ditugaskan Kiai Djazuli Utsman. Semua berjalan normal awalnya—sebelum seekor ikan melahap kail pancing dan menariknya begitu kuat. Gus Miek tak kuat melawan. Ia jatuh tercebur di sungai, bahkan ikut terbawa tarikan brutal sang ikan.
Sang pengasuh kalang kabut. Ia berusaha mencari, tetapi tak ada satu pun tanda Gus Miek berada di sekitar sana. Ia gundah dan gamang. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Gus Miek. Bagaimana ia mempertanggungjawabkan semua di hadapan Kiai Djazuli Utsman? Akhirnya, dengan segala rasa sedih dan takut di hatinya, sang pengasuh pulang pondok dan mengemasi pakaian untuk boyong.
Sementara sang pengasuh diselimuti kekhawatiran, Gus Miek ternyata bertemu Sang Guru Ilmu, Nabi Khidir AS. Dalam pertemuan yang konon hanya berlangsung lima menit, Gus Miek mendapat pencerahan. Beliau kemudian pulang ke pondok saat sore belum ditelan gelap. Mengetahui Gus Miek tak apa-apa, sang pengasuh akhirnya kembali ke pondok beberapa bulan kemudian.
Kisah lainnya soal Gus Miek adalah lautan yang berada di mulutnya saat meminum—lebih tepatnya membuang—berbotol-botol minuman keras di sebuah diskotik. Tatkala itu, beberapa pemabuk sedang asyik dengan minumannya seperti biasa. Gus Miek mengambil satu botol. Para pemabuk itu pun kaget.
“Kenapa engkau meminumnya, Gus? Bukankah minuman ini haram menurut aturan agama?” tanya mereka heran.
“Aku tidak meminumnya. Aku membuangnya di laut,” jawab Gus Miek tenang.
Para lelaki itu masih bingung. Akhirnya Gus Miek membuka mulut. Dan alangkah terkejutnya mereka mereka melihat lautan yang luas di dalam mulut Gus Miek. Laut yang penuh ombak. Laut yang menelan segala rupa barang. Saat itu juga, hidayah dari Allah datang.
Berdiri di Sisi Gelap Kegemerlapan Dunia
Dua kisah di atas hanyalah sebagian kecil; masih ada banyak untuk diceritakan. Namun, poin utama yang ingin saya bicarakan di sini bukan itu, melainkan bahwa Gus Miek berani dan rela mendedikasikan dirinya untuk berdiri di sisi gelap kegemerlapan dunia. Ketika banyak pendakwah memilih jalan yang sudah “bersih”, Gus Miek memilih titik sebeliknya; ketika para dai berceremah ke orang-orang yang sudah mendapat hidayah, beliau melangkahkan kaki ke sudut-sudut tempat yang belum atau enggan dijamah.
Jalan dakwah Gus Miek ini tentu penuh bahaya dan risiko. Tiap waktu beliau harus berhadapan dengan preman, pemabuk, pencuri, hingga para wanita tuna susila. Namun Gus Miek tidak gentar. Semua orang, sehina apa pun ia di mata manusia, seburuk apa pun cap yang dijatuhkan atasnya, punya hak untuk bertobat.
- Nurul Ibad merekam lebih jelas alasan ini dalam biografi Gus Miek yang berjudul Perjalanan dan Ajaran Kyai Hamim Djazuli. Suatu hari Gus Miek dan Gus Farid—kerabatnya—pergi ke diskotik. Gus Farid terheran-heran: mengapa seorang ulama pergi ke tempat seperti ini?
“Gus Miek, apakah jamaah sampean masih kurang banyak? Apakah uang sampean masih belum cukup? Kenapa sampean masuk ke tempat seperti ini?” tanyanya bingung.
Demi mendengar ucapan itu, Gus Miek muntab.
“Biar nama saya cemar di mata manusia tetapi tenar di mata Allah. Apalah arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata umat. Semua yang ada di diskotik ini juga menginginkan surga, bukan hanya jamaah (yang sudah lurus). Siapa yang berani masuk ke tempat seperti ini? Mana ada kiai yang mau ke sini?” tandas Gus Miek.
Gus Farid terdiam dan merasa bersalah. Meski begitu, sesaat setelahnya Gus Miek tampak ceria seperti biasa.
Jawaban Gus Miek di atas benar-benar menjadi kritik tajam bagi model dakwah kita yang begitu terpusat—tidak menyebar. Kita berdakwah di majlis-majlis taklim di pusat kota, hingga abai bahwa dunia juga tentang orang-orang marjinal yang belum tercerahkan. Kita fokus berdakwah di sekolah-sekolah favorit dan kampus-kampus ternama, hingga lupa bahwa ada banyak sekali anak jalanan yang ingin belajar agama namun tiada pembimbingnya.
Apakah kita telah berlaku adil?
Pada akhirnya, sosok seperti Gus Miek benar-benar membuat kita rindu. Kita merindukan dakwah yang ramah namun sekaligus berani mengambil risiko akan marabahaya. Merindukan Gus Miek adalah kerinduan pada terwujudnya dakwah yang adil. Sebab lagi-lagi, hidayah berhak didapatkan semua orang, bukan hanya mereka yang duduk di pusat kota dengan segala kemudahan.
Ketika para pendakwah menghidupkan lampu di tempat terang, Gus Miek menyalakan lilin di tengah kegelapan.
Semoga rahmat dan rida senantiasa tercurah pada Gus Miek. {}