Menyambut Bid’ah Pelajar Nahdlatul Ulama

Jumat Kliwon, 24 Februari 2017 IPNU mengganjili usianya menjadi 63 tahun. Hari yang keramat di peringatan kelahiran organisasi tercinta. Tahunnya pun sama dengan usia Nabi. 63 tahun. Lalu, apakah setelah ini IPNU masih akan sama dengan cita-cita para pendirinya? Apakah masih sama dengan obrolan kopi Abdul Ghoni Farida, H. Mustahal, Sufyan Cholil hingga Mbah Tolchah Mansyur?

Pasca kepergian Nabi umat Islam mengalami banyak momen perpecahan. Bahkan  mungkin lebih parah pada akhir-akhir ini. Urusannya bukan lagi sekedar melabeli umat Islam dengan Islam Abu Bakar, Islam Umar, Islam Usman atau Islam Ali. Melainkan kini, umat Islam sudah bisa dilabeli dengan Islam atau tidak-Islam. Lho, Islam kok bisa dianggap tidak-Islam. Kenyataannya begitu.

Ketika kita melompat jauh ke belakang. Mulai dari peristiwa perpecahan Anshor-Muhajirin pasca kematian Nabi, terbunuhnya Usman bin Affan, perselisihan Sayyidatina Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib hingga insiden Karbala. Semuanya menyisakan momen pahit karena terjadi antar saudara muslim sendiri. Kembali ke jaman ini, dunia Arab mulai terkotak-kotak karena sentimen Sunni dan Syiah. Perang saudara terjadi di negara-negara Islam hingga tidak mampu bangkit lagi. Setiap hari bom berjatuhan dan desing-desing peluru memcah langit hanya karena satu alasan: Kekuasaan.

Ada satu puzzle kecil Islam di tengah-tengah kita. Sebuah organisasi keterpelajaran yang merupakan Banom Nahdlatul Ulama. Ia bernama IPNU, atau Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Seperti organisasi atau kelompok manapun, IPNU juga menyimpan potensi perpecahan. Melihat rentang usia garap yang begitu lebar, 13 hingga 27, menunjukkan bahwa IPNU harus pandai-pandai mengakomodir berbagai pemikiran. Mulai dari pemikiran anak SMP, pemikiran anak kuliah hingga pemikiran Dosen. Hidupnya IPNU di perkotaan hingga ke ranting-ranting memaksa IPNU harus mampu memahami cara hidup urban dan cara hidup tradisional. Semuanya rentan menimbulkan ketidaksepahaman.

Di usia yang semakin tua ini, tentu kita tidak ingin IPNU kehilangan bintang yang paling besar di logonya; seperti ketika umat Islam kehilangan baginda nabi. Semakin tua akan semakin susah kita mengingat obrolan-obrolan kopi para pendiri IPNU. Semakin jauh sanad ke-IPNU-an kita akan semakin susah mengukur ajaran IPNU yang murni. Akan ada bid’ah-bid’ah baru yang harus mampu kita klasifikasikan ke dalam Bid’ah Dholalah dan Bid’ah Khasanah. Ada perubahan-perubahan yang harus kita terima, disamping hal-hal yang memang harus kita tinggalkan. Semuanya demi kemajuan IPNU. Sebagaimana dalam sautau kaidah, “Almuhafadhotuala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” – memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Kemampuan bertahan hidup IPNU di tengah kemajuan jaman tergantung pada bagaimana kemampuan kadernya untuk belajar dari sejarah, namun tetap membuka diri dengan perubahan. Keseimbangan antara keduanya tidak akan terjadi jika kader-kader IPNU tidak mampu mengenal nilai-nilai IPNU dengan baik. IPNU tidak boleh hanya di nilai sebagai suatu nama atau simbol yang diperebutkan atas dasar kekuasaan. IPNU bukan sebatas menganggap PD PRT sebagai Al Quran dan Hadits. Namun, IPNU juga bukan gerombolan yang boleh dijalankan hanya atas dasar hobi. Mari kita menyadari bersama, bahwa tidak akan ada kekuatan tanpa persatuan. Dan tidak akan ada persatuan tanpa penerimaan terhadap perbedaan. Saya benar-benar tidak ingin mendengar seorang kader dikatakan Ahlul Bid’ah hanya karena melakukan sesuatu yang tak pernah Mbah Tolchah lakukan. Atau bahkan sampai dikafir-kafirkan karena tidak mampu mencerminkan IPNU ala-Toclhah.

Sebab itu, sudah saatnya kita konsen ke hal-hal yang lebih besar, alih-alih repot-repot mengurusi satu-dua kekurangan orang di sekeliling kita. Mau itu IPNU-Jabariyah atau IPNU-Qodariyah, mau itu IPNU Garis Lurus atau IPNU Garis Bengkong, sudah saatnya IPNU memberikan sumbangsih yang nyata untuk kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara kita. Isu-isu Pelajar secara global tentu lebih menarik diperjuangkan ketimbang melulu mengurusi Makesta. Tuangkan ide-ide yang lebih besar dan baru. Ciptakan bid’ah-bid’ah chasanah disamping kewajiban pengkaderan yang harus dilakukan. Saya yakin, IPNU akan mampu menjadi jawaban dari kebutuhan kader-kader progressif dan pemersatu bangsa di masa yang akan datang. Ayo Menyambut Bid’ah Pelajar Nahdlatul Ulama. Terus belajar, berjuang dan bertaqwa!

Muhammad Hidayatullah

mbahdoyok