Beberapa waktu yang lalu, penulis terkejut begitu membaca sebuah berita yang begitu menajubkan. Bagaimana tidak, Direktorat Pidum Bareskrim Polri, telah mencatat hasil perhitungan kasus kekerasan anak tahun 2016. Berikut datanya mencapai 254 kasus, di antaranya 134 kasus korban, 149 kasus pelaku, 30 kasus penyelidikan, 161 kasus penyidikan, 28 berkas lengkap, dan 121 kasus dihentikan.
Jumlah yang mengerikan bagi Indonesia terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sampai detik ini, pemerintah mencoba bergerak dalam rangka upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi, dengan beberapa program tepat sasaran. Salah satunya, pencanangkan gerakan di Kota Layak anak. Beberapa daerah yang sudah berjalan, seperti Denpasar (Bali) dan Bondowoso (Jawa Timur). Hasilnya, kedua daerah tersebut telah menunjukkan rasa kepemilikan terhadap program, sehingga menghasilkan perubahan yang positif (Kompas, 16/1).
Tak hanya PPPA saja, DPR RI juga mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Adapun Undang-Undang tersebut termuat Peraturan Pemerintah tentang pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, seperti hukuman kebiri kimiawi dan penambahan masa kurungan menjadi seumur hidup. Penetapan hukuman terhadap berlaku kepada siapa saja yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Baik mereka yang duduk di bangku penjabat, professor, doktor, guru, hingga masyarakat awam.
Bentuk kekerasan terhadap anak ini, berdasarkan hasil pengamatan Komisi Perlindungan Anak bekerja sama dengan aparat kepolisian terdekat, terungkap, jumlah tahun 2015-2016 mengalami kenaikan drastis. Pasalnya, mereka pelaku maupun korban kekerasan seksual mulai terbuka dan berani melaporkan kepada polisi, sehingga jumlah kekerasan seksual meledak dahsyat. Mulanya korban takut melapor lantaran mendapat ancaman dari pihak pelaku kekerasan.
Menjaga, Tapi Menyakiti
Penelitian yang dijalankan oleh pihak kepolisian, tertuliskan tindak kekerasan didasarkan oleh beberapa latar belakang sosial, seperti terjadinya kesenjangan hidup pelaku, tekanan terhadap gaya hidup, dan lemahnya sistem pendidikan dan sosial. Baik sebagai korban maupun pelaku kekerasan seksual.
Tak kalah mengejutkan, 70% pelaku kekerasan adalah orang-orang terdekat korban. Mengapa hal ini terjadi? Karena pelaku tidak memiliki kesadaran untuk melindungi anak. Selain itu, faktor yang paling kuat adalah tekanan terhadap hidup pelaku kekerasan, baik secara fisik maupun psikis
Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengutarakan, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang luar biasa. Terlebih, jika pelakunya sendiri adalah orang-orang terdekat korban, seperti ayah kandung, kakak, paman hingga kakeknya sendiri. Sepanjang tahun 2016, semenjak kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Angeline, Indonesia menjadi sorotan publik sebagai “negara bejat” Hal ini sangatlah memalukan. Akan tetapi, realitanya memang benar. Kasus semacam ini terus bergulir dari waktu ke waktu, sehingga dampaknya menjadi pusat perhatian hingga di awal tahun 2017. Bukannya menyusut, justru terungkap.
Rata-rata korban kekerasan seksual adalah anak di bawah umur. Seperti kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Kezia Mamansa, seorang bocah berusia 10 tahun di Kota Sorong, Papua Barat, Selasa (10/1). Jasat Kezia ditemukan masyarakat terkubur lumpur di sungai Komplek Kokodo, Sorong. Diduga pelaku kejahatan tersebut dilakukan oleh tiga orang. Salah satu pelakunya adalah kakak dari korban sendiri.
Hal serupa juga terjadi di Wonogiri, Jawa Tengah. Seorang pria berusia 46 tahun tega menjadikan darah dagingnya sebagai pelampiasan hasrat seksual. Aksi pencabulan terjadi sejak 4 tahun lalu. Dia berdalih lantaran kurang puas terhadap pelayanan istri. Dalam melakukan aksi biadabnya, pelaku mengancam korban untuk tidak menceritakan kepada siapa pun (Liputan 6, 19/06/2015).
Dua kasus di atas seakan-akan menggambarkan nafsu manusia kadang melebihi kejamnya binatang. Seperti pepatah, “Sekejam-kejamnya harimau, dia tidak akan memangsa anaknya sendiri.” Pepatah tersebut sepertinya pantas untuk menggambarkan perilaku biadab pelaku kekerasan seksual tersebut, sehingga ancaman hukuman selama 15 tahun penjara sepertinya tak cukup untuk perbuatan keji itu. Kendati, inilah alasan keluarnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Miras Pendukung Kekerasan Seksual
Ada hal yang menarik dari ramainya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang mencuat belakangan ini. Yakni, pelaku dan korban tindak kekerasan didahului dengan mengonsumsi minuman keras (miras). Tujuannya, merangsang supaya lebih berani untuk melakukan pemerkosaan karena nafsu seks tinggi. Untuk itu, Anggota VIII Dewan DPR DARI Fraksi PKS, Ledia Hanifa pun mendesak DPR segera mengesahkan RUU Larangan Minuman Beralkohol agar tidak ada lagi peredaran barang haram guna mencegah terulangnya kekerasan seksual.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana pun, pihaknya meminta tokoh agama atau tokoh masyarakat meningkatkan upaya memperkuat kesadaran warga untuk menciptakan kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik lintas usia maupun golongan. Ia juga meminta DPR RI segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Tujuannya, agar dengan cepat dapat menangani kasus kekerasan seksual secara lebih komprehensif dan terukur.
Pun Masyarakat diharapkan memperkuat kesadaran melindungi anak. Anak adalah calon penerus bangsa. Anak harus mendapatkan pendidikan secara baik dan kondusif, baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah hingga negara. Kendati itu, mengingat kasus yang sedemikian rupa tugas kita sebagai masyarakat yang cerdas adalah menjaga bukan menyakiti, khususnya orang tua memiliki peran aktif guna membantu menyongsong masa depan anak.
Penulis adalah Panitia Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo. Aktif menulis di Citizen Reporter Harian Surya Surabaya.