Oleh: Arga Ramadhan Setyo Nugroho
Mantan Komandan DKC CBP Kabupaten Wonosobo
Tanah air tempat berpijak ribuan makhluk Sang Hyang sedang dilanda kesemrawutan. Lorong jembatan semesta kini sudah tiada lagi. Lukisan manusia berpeci yang meninjukan tangannya ke angkasa dibalur muka yang galak nan imut dengan background merah putih, tertulis lantang nan tangguh seperti tiang istana negara “Merdeka Atoe Mati….!”. Konon seantreo jagad, hingga koran-koran menyebutkan lukisan dilorong jembatan yang provokativ itu tak lain tak bukan presiden pertama RI Soekarno.
Layak, jika setiap arwah yang dibungkus daging dan tulang dihias dengan busana dinamakan manusia jika melewati jembatan ini ada semangat baru. Seperti terlahir kembali, menggebu-gebu jiwa nasionalisnya. Saking nasionalisnya, mbak Kanti si janda pedagang sagon melewati lorong jembatan ini membaca lukisan itu sembari mengacungkan kepalnya ke langit berteriak “Janda merdeka…!!!”. Ekspresi parasnya yang cantik seperti Suzana seketika berubah menjadi sangar berapi api, sayang sekali wanita yang lungset dan cantik ini menjanda ditinggal mati suaminya hingga ia harus memerdekakan dirinya sendiri.
Disector lain, ketika mobil pak walikota melewati lorong provokativ ini, dada pak walikota berdebar seperti di ring tinju. Matanya sayu meneteskan air mata, jenggotnya seakan terbakar, tubuhnya bergetar seakan gempa menimpanya. Supirnya yang reflek nan datar memberikan permen agar tidak gagal focus, “Permen pak?”
”Ndak, ndak, makasih” jawab pak walikota. Sesampai dirumah, pak walikota murung meratapi nasib. Melihat dengan hikmat dirinya didepan kaca di kamarnya. Rambutnya yang sudah mensilver mengkilap karena diolesi minyak setiap akan berangkat kantor dan klimis kini semakin menjabrik tak mau diatur. Kulitnya sudah berkeriput stadium tiga ini menandakan tinggal menunggu suara alam.
Tak lama meratapi nasib, pak walikota cepat-cepat tobat nasuha, sebelum suara langit yang diamanahkan Izrail mengeksekkusinya. Ia sadar selama menjadi abdi rakyat banyak memencengkan hak-hak yang nyata. Proyek fiktif diembanya untuk pribadi, ia berterimakasih dengan lukisan merdeka yang memiliki seribu makna tersirat yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bijaknya. Setelah mengakui kesalahanya, diharibaan Yang Maha Kuasa, pak walikota akan bertanggung jawab kepada rakyatnya. Prinsipnya menginap di hotel Prodeo-pun tidak jadi masalah, yang penting “Merdeka…!!!”
Dari kejadian fakta tersebut, sangat luar biasa bagaimana sebuah lukisan amanat citra bangsa ditegakkan. Namun romansa realita dari ruh lukisan tersebut sudah sirna, berubah 360 derajat. Lorong jembatan yang dulu menjunjung tinggi nasionalisme kini berubah seperti lorong hantu. Kusam, becek, sarang laba-laba bergentayangan di atap seperti goa. Dulu bunga melati tumbuh di pinggir trotoar, kini yang tersisa hanya rumput liar, sampah, plastic, bekas popok bayi, dan botol jamu obat kuat.
Mirisnya lagi, seniman jalan yang nakal menggambari dinding jembatan dengan gambar wanita sedang merokok. Dengan busana yang jahitannya belum jadi di sector dadanya, menjulang dua buah sesuatu dengan batas yang diizinkan terlihat tidak berizin. Pahanya yang putih mulus digambar tatto tengkorak, sesekali menambah keangkeran. Kata-kata yang dulu berjiwa “merdeka” kini tertera “Cinta Kita Mati” sungguh miris. Mbak Kanti, si janda penjual sagon tambah miris, sudah lama ia tidak melewati lorong jembatan kesayanganya yang dulu ASRI itu.
Dulu setiap sore jembatan itu jika terkena sang surya dari ufuk barat terlihat bercahaya. Semua ekosistemnya gembira, merpati menghabiskan waktu sore bertengger dan arisan di kabel listrik melantunkan lagu cinta putih. Burung wallet dulu sore hari pasti berputar-putar diatas jembatan, membentuk barisan rotasi yang anggun sangat disiplin seperti jet tentara angkatan udara. Semut-semut berbaris rapi di dinding, jalan sehat saat terkena linangan cahaya, semua bergembira. Kendaraan yang lewatpun suka cita, seakan ada terapi batin di lorong provokativ ini. Tukang becak bersiul melepas lelah, pengamen pentas dengan nada sesona always somewhere. Presiden Korea waktu berkunjung ke NKRI melewati jembatan ini terangguk-angguk kepalanya “Ajinomoto-ajinomoto, soto, royco,” diterjemahkan media nasional dan internasional kurang lebih seperti ini, “Bagus, bagus, saya suka.”
Lorong ini sewaktu jaya, tatkala sore hari lampu–lampunya berbaris rapi, menyala indah bervariasi, desain made in Indonesian classic. Trotoarnya jika malam banyak dijadikan objek foto, dari anak–anak, dewasa, tua, hingga menjelang ajal tiba. Bahkan anak pak menteri-pun foto pre wedding di lorong asmara ini. Pedagang asongan menjajakan dagangan biasanya saat malam minggu tiba, rela lembur sekaligus refreshing. Wisatawan mancanegara, dari berbagai penjuru dunia terhibur sesekali mampir di lorong multifungsi ini. Disamping gratis, ada kesan sejarah dan pastinya tidak ada duanya di negara manapun.
Deretan wisatawan yang pernah mendarat di lorong sacral ini yaitu dari: Polandia, Rumania, Finland, Deutchland, Britain, Chile, Paraguay, France, South Korea, North Korea, Japan, Belgium, Italy, Yunani, Ceko, Slovenia, Slovakia, Canada, America, Portugal, Spain, Uruguay, Turki, Yaman, Egypt, Australia, Panama, Irlandia, India, Somalia, Rusia, China, Bulgaria, Skotland, Netherland, Fillipina, Vietnam, Cameroon, Ghana, Srilanka, New Zeland, Fiji, dan Hongkong. Ketakjuban terhadap charisma lorong ini diamini seantreo jagad raya. Terlebih lukisan Bung Karno di jembatan itu mengandung sejuta filosofi. Wisatawan Grece saat bersyair disini memukau seluruh hadirin, terlebih merpati putih pun terkantuk-kantuk.
“Lorong Jiwa”
Asmara redup terpalsukan pujangga
Merobek selembar sutra jantung asmara
Hilang sirna pintu sebutir cinta
Lorong jiwa
Melesat menembus dada
Kini nyawa sudah saling jumpa
Lorong surga
Indonesia
By: Thomas Wiljnadum
Plato dan Aristoteles, dialam sana mungkin tersenyum rapi sembari menikmati kopi hitam melihat anak keturunannya beralih profesi dari filosof menjadi tukang curhat. Tapi setidaknya ini adalah suara hati, suara hati melambangkan aspirasi dunia. Lampu yang bervariasi terbuat dari logam baja putih di lorong itu tentu sangat asik, sekeras cintanya yang pudar kini mulai berenergy. Bagi Thomas, rasanya ia ingin hinggap di lorong ini selama- lamanya.
Trotoarnya yang terbuat dari keramik intan dipadukan dengan marmer pilihan, menambah mengkilap bangunan ini. Ukiran batik Jawa-pun tertempel di dinding jembatan yang terbuat dari granit. Unsur “Culture Is Life” terletak di dinding jembatan, berupa ukiran wayang kulit yang gagah berani, ada Sri Bathara Kresna yang sedang tersenyum membawa senjata cakra symbol kekuatan, kedamaian, citra, norma, susila, dan sebuah bangsa. gambar Sri Kresna sedang duduk di singgasananya dipayungi tujuh ular cobra yaitu perwujudan dari kakak kandung Sri Kresna, yaitu Prabu Baladewa yang melindungi Kresna melambangkan tegas, pelindung, penengah, dan penghancur. Para kesatria yang duduk bersila digambarkan, sedang mendengarkan Sri Kresna selaku Basudewa dengan hikmat. Ada Werkudara atau Bima, Nakula, Sadewa si darah putih, ini melambangkan kesederhanaan dan semangat gotong royong. Dari gambaran diatas, betapa anugrah yang luar biasa tentang lorong ini.
Namun semua tinggal sejarah saja, lorong yang dulu istimewa kini tidak ada artinya lagi walau sepercik makna. Tinggal hanya sarana transportasi kumuh yang pengap, jika malam gelap gulita, lampu-lampu tak berdosa binasa dicuri, jika air dari langit mendarat pasti banjir seperti kolam ikan yang amis dipenuhi sampah. Lukisan batik dari Jawa dan wayang kini berubah menjadi lukisan curhatan pribadi yang eneg, lebay, tak bermutu sama sekali. Dicoreng-coreng dengan spidol, ini semua ulah generasi muda republik ini yang tak punya visi, yang redup akan pengetahuan, seakan-akan hebat padahal kenyataanya hanya bisa makan, tidur, nglayap, dan instan.
Tapi kita semua tahu bung, mentari masih hinggap di langit. Masih ada asa, memulihkan kejayaan yang mulai susut. Selagi masih ada guru bangsa yang layak menjadi panutan umat manusia, semua belum terlambat. Saatnya berkarya untuk para pemuda, martabat bangsa ditentukan pemuda hari ini, inilah awal dari white propaganda.
Editor: HF