Pemuda itu terpaku di hadapan rumah yang lebih pantas dikatakan gubuk reyot itu. ia masih tidak mengerti terhadap dawuh dari Kyainya. Bukankah ia bermaksud mbeguru? Meraup ilmu karena merasa seluruh ilmu di pesantrennya dulu telah habis ia tenggak dalam sekali dahaga. Namun, justru Kyainya mengirimnya ke tempat ini. Tempat yang begitu jauh dari hiruk-pikuk dunia, tempat yang begitu kumuh dan terlihat hampir roboh. Di depan gubuk tua itu, tampak seorang kakek tengah memunguti dan mengumpulkan kayu bakar yang berasal dari ranting-ranting pohon pinus yang berjatuhan.
***
Beberapa hari yang lalu, seorang santri di Pesantren Darus Shalihin Wonoasri sowan kepada Kyainya. Pemuda tersebut bernama Azwar, pemuda yang terbilang cerdas dan dapat menguasai seluruh ilmu di pesantren dalam waktu yang singkat, ibaratnya sekali teguk.
“Ngapunten Yai, saya mau minta rekomendasi untuk pindah pesantren,” begitu katanya saat itu.
“Kenapa? Apakah kamu sudah yakin dinyatakan lulus dari sini?” pemuda itu mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia sangat yakin bahwa semua ilmu di pesantren tersebut secara teoritis telah ia kuasai dengan waktu singkat. Sehingga waktu tiga tahun lebih dari cukup untuknya.
Kyai Jamal tampak terdiam, berpikir sejenak. Beliau adalah Kyai yang kharismatik, terkenal bijaksana dan berjiwa sosial sangat tinggi. Selama ini, beliau selalu mengajarkan kepada santrinya untuk srawung dengan masyarakat. Turun tangan dalam semua kegiatan mereka. Tidak heran, jika saatnya panen padi tiba, semua santri diliburkan mengaji demi membantu masyarakat, atau jika ada suatu kegiatan kerja bakti Kyai Jamal tidak akan segan untuk turun tangan dan mengomando seluruh santrinya.
“Sebentar le,” Kyai Jamal beranjak, menuju meja di belakangnya, tampak mengambil sebuah pena dan kertas. Tanpa kata, beliau kembali duduk dan tampak mencoret sesuatu.
“Kamu yakin ingin belajar ilmu lebih tinggi? Di atas kitab-kitab yang kita pelajari di sini?” tanya beliau setelah selesai mencoret kertas tersebut yang membentuk sebuah peta.
“Nggeh Yai. Insyaallah saya yakin,” jawab Azwar dengan mantap. Pak Kyai lantas tersenyum menyodorkan kertas tersebut.
“Kalau kamu yakin, datangi tempat ini le, dengan jalan kaki. Madep manteping ati-lah yang akan mengantarmu ke sini”
Azwar tampak mengamati peta tersebut, sebenarnya sejenak ia merasa aneh. Jarak yang ia tempuh dalam peta tersebut agaknya lumayan jauh. Tidak banyak petunjuk juga, hanya ada beberapa pohon dengan jembatan, jalanan lurus dan anak panah. Namun, ambisinya segera melenyapkan pemikiran itu. Satu-satunya yang menguasai pikiran, hati dan jiwanya saat ini adalah ia harus menuntut ilmu lebih tinggi dan lebih singkat dari yang lainnya.
“Nggeh Yai. Saya bersedia.” Jawabnya tampak tegas dan yakin.
“Kamu akan berhasil kali ini jika kamu menikmati prosesnya le, noto ati iku abot sopo seng iso noto atine insyaallah iso duwur ilmune” beliau berpesan sebelum beranjak pergi meninggalkan Azwar.
Sedangkan di teras masjid yang berada tepat di seberang jalan depan rumah Kyai Jamal. Beberapa santri tampak asik mengobrol, mengacuhkan kitab-kitab yang berada di tangan mereka.
“Kang Azwar sowan Yai ono opo tow kang?” tanya kang Misdi, santri junior yang baru dua tahun nyantri.
“Dengar-dengar dia mau belajar ilmu yang lebih tinggi” jawab Kang Wahab santri yang paling senior.
“Hebat kang Azwar dalam waktu tiga tahun sudah selesai semuanya” Sahut Kang Misdi.
“Ya, kalau begitu aku juga mau kang. Ndak perlu ikut ini-itu, yang penting ngaji dan ngaji” Kang Burhan ikut menambahi.
“Termasuk ndak ikut kerja bakti juga srawung dengan masyarakat begitu maksudmu kang?” timpal kang Wahhab. Yang kemudian disahut gelak tawa yang lainnya.
“Sudahlah, yang terpenting dia juga tidak pernah ikut ghibah, ngerumpi dan lain-lain seperti kita. Eling, pesannya Yai ‘kita di sini tidak hanya belajar ngaji, tapi juga bermasyarakat. Bahkan itu yang terpenting’” Kang Mizwar yang sejak tadi hanya menyimak, kini menengahi. Perkataan kang Mizwar sekaligus mengakhiri ngerumpi mereka sore itu. masing-masing kembali ke kamar, setelah terdengar lantunan waqi’ah dari speaker masjid.
Esok hari yang petang, Azwar berangkat seusai solat subuh. Jalan yang dilaluinya adalah hutan belantara, juga pegunungan. Pemuda itu tampaknya sudah tidak menghiraukan lagi, bahwa jalan yang ia tempuh dengan kaki telanjang itu bukan hanya akan menghabiskan jam, tapi hari, pekan, atau bahkan bisa jadi minggu.
Ia berjalan menerobos rerimbun hijau pohon-pohon raksasa di belantara hutan. Ungkapan uthlubul ilma walau bi shin nampaknya telah bersemayam di hati dan pikirannya. Ia berjalan cepat, seolah tidak sabar segera memenuhi dahaganya akan kehausan ilmu. Tanpa terasa, ia sudah berjalan kurang lebih tiga puluh kilometer. Hingga membuatnya berhenti di tepi sungai yang terletak di tengah pegunungan. Ia berhenti, mengeluarkan bekal yang tersimpan dalam tas ranselnya.
Hari mulai menepi, mentari perlahan tenggelam di balik gunung. Semburat jingga sisa dari sinarnya menerobos rimbunnya dedaunan. Lantas seolah terjatuh pada kedalaman air sungai di hadapannya. Azwar mulai mengambil air wudlu, lalu menggelar sajadahnya di atas batu besar tepat di tepi sungai. Hening, hanya suara angin yang bersentuhan mesra dengan ranting pepohonan, seolah mereka tengah bertemu dalam kekhusyukan bersujud pada-Nya.
Nyanyian binatang malam mulai terdengar, beberapa kunang-kunang berwarna merah dan kuning menyala tampak terbang di kegelapan kesana-kemari. Aroma tubuh alam berbaur dengan pepohanan menyeruak, bau khasnya yang entahlah seperti apa.
Malam itu, Azwar istirahat di sana. Sesekali ia buka beberapa kitab yang ia bawa, ia baca kembali kemudian tertidur. Dalam tidurnya, ia melihat sebuah cahaya. Cahaya putih yang sangat terang, ia mencoba mengejarnya namun tiba-tiba ia terpeleset dan masuk ke dalam jurang yang begitu gelap, tidak ada lentera sedikitpun, bahkan sinar rembulanpun enggan menerobos di atasnya. Mimpi itu membuatnya terjaga, lalu ia beranjak kembali meneruskan langkahnya tanpa sedikitpun penerangan, hanya dengan sisa-sisa sinar rembulan yang menerobos pepohanan.
Genap seminggu sudah ia melangkahkan kaki, naik turun gunung, menembus belantara. Menghadapi berbagai binatang buas penghuni belantara itu dengan bekal bambu runcing yang sempat ia buat sebelum berangkat. Hingga tibalah ia kini di hadapan gubuk reyot itu, langkahnya terhenti ia amati kembali peta yang diberikan Kyai Jamal. Lelah yang selama beberapa hari tidak terasa karena semangatnya untuk segera memeluk ilmu itu, kini terasa seolah tidak bersambut dengan harapannya.
“Kenapa berdiri di situ le, kemarilah!” kakek tua yang menyadari kehadirannya segera menghampirinya. Di usianya yang terbilang sudah sangat tua, kakek itu masih berdiri dengan tegap dan kokoh. Ubannya sudah menyebar di seluruh kepala, jenggotnya yang dibiarkan panjang dan berwarna putih itu tampak terawat rapi. Pipinya cekung, seolah bercerita tentang banyak waktu yang telah ia lalui. Namun, aura wajahnya sangat berseri dan terlihat segar berbalik dengan keadaan uban yang memenuhi kepalanya.
“Mohon maaf kek, saya mencari mbah Mangun. Apakah kakek tahu?” Azwar menjelaskan maksud kedatangannya setelah duduk di teras rumah bambu yang tampak reyot itu.
“Kalau boleh tahu, ada perlu apa le, mencari mbah Mangun?”
“Saya mau belajar ilmu, ngaji, apapun itu kepada beliau. Menurut Kyai saya, Yai Jamal beliau adalah orang yang berilmu sangat tinggi,” Azwar menjelaskan dengan jelas.
Kakek itu tampak manggut-manggut lalu tersenyum. “Kamu yakin, mau belajar kepadanya le? Kalau kamu yakin, kamu harus noto ati le harus madep mantep dan juga bersabar. Karena, begitu banyak pemuda sepertimu yang datang padanya untuk belajar. Namun pada akhirnya menyerah di tengah jalan” begitu katanya selanjutnya.
“Saya yakin kek, sangat yakin”
“Baiklah kalau kamu yakin, mari masuk dan istirahatlah lebih dulu kamu tampak sangat kepayahan. Saya mbah Mangun, penjual kayu bakar di pasar pinggir hutan sana.” beliau beranjak lebih dulu meninggalkan Azwar yang masih termangu dengan seribu pertanyaan di kepalanya.
Ia benar-benar masih tidak percaya, kenapa Kyai Jamal justru mengirimnya kemari? Ke rumah yang begitu sepi, di tengah belantara. Lebih-lebih ia dikirim kepada kakek tua yang hanya penjual kayu. Dari penampilannya, kakek itu terlihat sebagaimana warga biasa. Tidak berilmu tinggi sebagaimana kata Kyainya. Kakek itu mengenakan sandal jepit seadanya juga kaos oblong yang sudah memudar warnanya.
“Masuklah le” seru suara dari dalam. Dengan penuh keraguan Azwar masuk ke dalam.
Lagi-lagi hal yang terasa janggal tersaji di depan matanya. Rumah gubuk yang tampak reyot dari luar itu, dalamnya terlihat sangat rapi, sederhana, indah dan luas. Di dindingnya tampak terpajang beberapa gambar tepatnya lukisan para wali, dan beberapa kaligrafi. Di hadapannya ada meja yang lumayan luas, meja yang terbuat dari marmer.
“Silahkan diminum, hanya ini adanya,” mbah Mangun menyodorkan segelas air putih. Perlahan, meskipun ragu dengan mengucap basmallah ia teguk air minum itu.
Azwar sudah mempersiapkan dirinya, untuk membuktikan bahwa ia penuntut ilmu yang sungguh-sungguh. Bahkan pantas menjadi murid terbaik mbah Mangun, tentu saja ia sangat yakin. Karena dia bisa menguasai banyak kitab dalam waktu yang lebih singkat dari orang lain. Dia akan memulai menyelami kedalaman samudra ilmu itu malam ini.
***
Kini sudah genap seminggu Azwar tinggal di gubuk tua itu, banyak kejanggalan yang Azwar rasakan dan temukan. Setiap pagi datang, mbah Mangun mengajaknya pergi ke pasar yang ada di perkampungan warga pinggir hutan sana, untuk menjual hasil kayu bakar yang dikumpulkan dari siang hingga sore. Bahkan mbah Mangun tidak langsung pulang begitu selesai menjual kayu bakarnya, ia selalu membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, atau sekadar berbaur dengan warga yang sedang berjudi ataupun ngadu jago. Meskipun mbah Mangun tidak ikutan, dengan alasan tidak cukup uang, tapi dia selalu menyaksikan aktivitas gelap itu, tanpa sedikitpun melarang dan memberikan dalih. Itu hanya satu di antara kejanggalan yang dirasakan Azwar. Mbah Mangun juga seringkali membeli nasi bungkus beberapa dan di makan bathu dengan para pengemis di pinggir jalan. Setiap petang tiba, selepas isya’ Azwar selalu didawuhi untuk jaga rumah. Entahlah kemana perginya mbah Mangun, yang pasti mbah Mangun pulang sebelum adzan subuh berkumandang.
Semua kegiatan itu terus berjalan, hingga hampir setahun lamanya. Mbah Mangun tidak pernah mengajarkan kepadanya kitab apapun, atau ilmu apapun. Semua aktivitas yang ia lakukan sejak awal tetap masih sama hingga mendekati setahun lamanya. Awalnya Azwar tetap bersabar, dan yakin suatu ketika mbah Mangun akan mulai mengajarkan ilmu kepadanya. Apalagi semenjak ia mendengar Mbah Mangun sedang berdzikir di sepertiga malam, saat itu mbah Mangun seolah sedang berbincang dengan seseorang yang tidak ia lihat di sela-sela dzikirnya. Namun, harapan itu pupus seketika saat hampir setahun ia tetap melakukan rutinitas yang sama.
Azwar merasa menyesal menghabiskan waktu yang begitu panjang untuk hal-hal yang menurutnya sia-sia. Dia kecewa, sangat kecewa hingga ia putuskan hari ini juga ia akan kembali ke pondoknya di Wonoasri. Dia ingin protes kepada Kyai Jamal.
“Ngapunten mbah, saya mau pamit”
Mbah Mangun yang masih khusyuk memunguti kayu bakar pagi itu, segera menoleh ke sumber suara. Pemuda yang setahun lalu, tampak dengan tatapan sangat yakin untuk mbeguru padanya, kini berubah serupa dupa yang terbakar dan hanya menyisakan kepulan asap dengan bau khas yang menyebar. Semangatnya yang menyala pada kedua bola matanya tampak padam, berganti dengan bara api kekecewaan.
“Silahkan nang, karena mampumu hanya sampai di sini. Saya harap apa yang saya lakukan padamu menjadi satu cahaya ilmu sebagaimana yang engkau cari. Pesanku ilmu iku serupo cahyo le, ojo goro-goro ambisimu cahyo iku njelma geni kang bakar awakmu dewe. Syarate kudu pinter noto ati, suwi masane, ugi sabar” hanya kata itu yang keluar dari beliau lantas kembali khusyuk memunguti kayu bakar itu, setiap kali mbah Mangun memungutnya ia selalu menggumam ‘Alhamdulillah’.
Akhirnya ia kembali melangkahkan kaki, menerobos belantara, naik-turun gunung. Hingga kepayahan dan kelelahan menjalari tubuhnya membuatnya tertidur di bawah pohon beringin yang rindang dan lebat.
“Kamu salah le, bukankah sejak dulu sudah kukatakan kamu harus menikmati prosesnya. Harus sabar dan pandai menata hati. Tidak banyak orang yang bisa mbeguru kepada mbah Mangun, dialah guru para ulama. Kembalilah! Kembalilah ke sana!” Kyai Jamal tampak meneteskan air mata mendengarkan keluhannya. Hingga dengan terpaksa ia kembali ke gubuk reyot itu.
Begitu kakinya menapaki rerumputan yang tengah bersetubuh dengan embun, tampaklah dari luar mbah Mangun sedang mengajar ngaji para santrinya. Santri yang di dalamnya terdiri dari para pemain judi, para tukang jagal, juga para pengadu ayam sebagaimana yang selalu ia temui di pasar perkampungan pinggir hutan. Dari kejauhan aroma wangi tubuh mbah Mangun tercium, sangat tajam, dan cahaya wajahnya tampak begitu terang hingga membuatnya menangis, dan terjaga dari tidurnya.
Rasanya ingin ia segera berlari kembali ke gubuk reyot itu, namun ia sungguh sangat malu kepada dirinya sendiri yang terpenuhi oleh ambisi, hingga membuatnya terbakar dan melupakan hakikat ilmu yang sesungguhnya. Azwar beranjak berdiri, memandangi dua jalan di sampingnya mengeja kesalahannya lantas perlahan menggelengkan kepala, bingung hendak kemana?
Ponorogo, 20 Oktober 2016
*cerpen ini pernah dikutsertakan lomba di UNIDA Gontor
Penulis bernama pena Husna Assyafa, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia pada tanggal 9 November 1994. Saat ini sedang belajar di IAIN Ponorogo, dan menimba ilmu di PPTQ Al-Muqorrobin Ponorogo. Mengikuti grup-grup menulis baik online ataupun tidak. Di antara gerakan literasi online yang diikuti komunitas bisa Menulis, Ruang Aksara, Laskar Literasi Sajak-Sajak Nusantara, Taktik Jurnalistik Comunity, dll. Sedangkan gerakan literasi secara tatap muka di antaranya Sekolah Literasi Gratis STKIP Ponorogo, juga penggagas dan pemimpin Komunitas Literasi IAIN Ponorogo. Pernah menjadi team editor di buletin Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Ponorogo. Cerpen-cerpennya yang menang dalam perlombaan di antaranya Ruang Cinta Untuk Negeri Kita (harapan III lomba cerpen IPPNU Ponorogo), dan Senja Bulan September (majalah madani Tulung Agung). Salah satu puisinya masuk dalam kategori puisi terpilih pada Lomba cipta puisi RUAS (Ruang Aksara) ke-3. Dan cerpennya yang berjudul Kang Musthofa memenangkan harapan II lomba yang diadakan Kemenag dalam rangka ‘Gebyar Hari Santri Nasional’ kategori santri, beberapa puisi-puisinya termuat di koran lokal. Karya penulis yang sudah di terbitkan berjudul Luka dan Cermin Cinta (2016, oleh Soega Publishing) berupa buku kumpulan cerpen. Buku antologi puisinya berjudul Melankolia Surat Kematian (Soega Publishising & komunitas RUAS, 2016). Sedangkan kumpulan cerpen bersamanya berjudul Almira dan Gholan (Spectrum Sutejo center, Ponorogo), Di Bawah Naungan Nur (Departemant Agama RI, 2016). Buku kumpulan cerpennya yang terbaru Kang Musthofa (STKIP Ponorogo & Terakata Jogjakarta, Februari 2017). Saat ini sedang merampungkan novelnya dan dua antologi puisi tunggalnya, selain itu saat ini tengah menggagas pendirian komunitas literasi di Wonogiri. Bisa dihubungi dengan kontak No. HP 085642310866. Fb : Husna Assyafa.