Jujur ketika melihat Afi Nihaya Faradisa tampil di Di Rosi Kompas TV malam itu (30/05/17) saya cukup iri. Ya, Rosiana Silalahi adalah salah satu presenter idola saya, selain Karni Ilyas, Putra Nababan, Andy F. Noya, Najwa Shihab, dan beberapa presenter lain.
Oke, kita tinggalkan dulu idola-idola saya tersebut. Kembali kepada Afi yang sedang menjadi trending ditengah-tengah hegemoni dan problematika kebangsaan yang tengah kita alami dewasa ini. Mengapa tidak, melalui tulisan-tulisannya di media sosial, bisa dibilang ia adalah revolusioner belia.
Di usianya yang masih remaja, pemikirannya begitu luas. Tak seperti remaja kebanyakan yang masih berkutat dengan cinta, Afi telah memikirkan Indonesia. Ya, Indonesia yang menjadi rumah kita, rumah yang harus selalu kita rawat dan kita jaga.
Mungkin kita berfikir, bagaimana pula kita mau berkontribusi untuk Indonesia, toh kita hanya orang pinggiran. Saya jadi teringat kata guru saya, Pak Rustam, ‘Ibarate cuma wong cilik seng urusane weteng karo ngisor weteng’ – Yang kita urusi hanya perut dan yang dibawah perut -red.
Dalam prolog buku Kisah Hidupku, biografi Andy F. Noya dituliskan:
“Tidak perlu menunggu untuk jadi cahaya di sekelilingmu, lakukanlah kebaikan sekecil apapun, sekarang juga”.
Benar kata Afi, semua milik kita hanyalah warisan. Kita tidak bisa memilih dari orangtua mana kita dilahirkan. Miskin atau kaya. Kita tidak bisa memilih dari Agama apa kita dilahirkan. Semuanya adalah kuasa Nya. Seharusnya kita bersyukur, dilahirkan dalam keadaan Iman, Ihsan, dan Islam. Bukan malah saling berujar kebencian, saling mengkafir-kafirkan. Ingat! Kita bukan Tuhan. Manusiakanlah manusia. Bukankah Islam mengajarkan kedamaian?
Pun saya, sedikit curhat. Saya sangat bersyukur dilahirkan dari orangtua Muslim, walaupun mohon maaf bisa dibilang ‘apatis’ dan tak terlalu NU. Alhamdulillah saya dibesarkan di lingkungan hijau. Saya mulai menempuh pendidikan di TK Muslimat. Jadi saya telah mengenal NU sejak dini, meskipun sampai usia Sekolah Dasar saya belum bisa paham secara mendalam dan menganggapnya biasa-biasa saja.
Baru ketika remaja saya benar-benar bisa bersyukur karena 6 tahun di godog di Madrasah yang juga NU banget. Entah mengapa dari sini saya mulai mencintai NU. Karakter aswaja mulai terbentuk. Para Asatidz mengajarkan tentang barokah, tentang tawadlu, tentang berbagai macam ajaran islam yang adem. Islam yang mencintai perdamaian.
Seiring berjalannya waktu, dengan berbagai bekal yang telah saya dapat saya mulai belajar melihat kondisi lingkungan disekitar. Ternyata masih banyak yang perlu dibenahi. Disinilah yang melatar belakangi saya masuk di IPNU. Singkat cerita, perjuangan ternyata tak semudah membalikan telapak tangan. Disini saya benar-benar merasakan arti sebuah perjuangan dan keikhlasan. Tentang bagaimana cara mengajak, sadar organisasi, dan menghidupinya. Disini saya dituntut untuk pandai bermanuver.
Mencari formula yang pas, selalu uptodate alias mengikuti perkembangan jaman. Di lingkungan pemuda yang biasanya grumungan, pun saya harus pandai membaur; namun tak boleh terkontaminasi. Belajar mengakrabi dan mengerti mereka, kemudian menariknya pelan-pelan. Sangat berbeda ketika dalam Majlis atau Madrasah karena memang kebanyakan berniat untuk mempelajari agama.
Belum lagi ketika kita dihadapkan dengan teknologi dan trend. Untuk urusan gadget ini, maka muaranya hanya dua; kita memanfaatkan, atau kita dimanfaatkan. Selayaknya kita mencontoh Afi, yang menggunakan gadget untuk produktif menulis dan menyampaikan pikiran-pikirannya yang positif.
Jangan jadi katak dalam gadget. – AIS Nusantara
Sebagai cloosing, maaf bukannya sok bijak atau bagimana. Kader itu harus pandai menyikapi problematika dan hegemoni di lingkungannya. Sekarang semuanya ada ditangan kita; Akan berujar kebaikan untuk Indonesia damai dan toleran atau berujar kebencian untuk kehancuran.
Saiful (ketua PR IPNU Curug Tirto kab Pekalongan)