IPNU Yang Mampu Berbicara

“IPNU ini seperti gunung yang sangat besar namun tidak pernah mampu kelihatan. Potensinya begitu bagus, tapi belum mampu dirasakan”, ujar salah seorang teman komunitas suatu sore kala belio berkunjung ke basecamp. Kami ngobrol ngalor-ngidul­ tentang perkembangan Kabupaten Purworejo, mulai dari pembangunan jalan hingga pendidikan moral. Beberapa kali belio mengacungkan jempolnya, betapa IPNU-IPPNU diisi oleh pemuda-pemuda yang ikhlas dan tanpa pamrih, tidak melirik uang sepeserpun, tidak takut cuaca dan seslalu siap ketika dibutuhkan ulama. Itu semua tentu modal yang bagus yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, tapi mengapa gerakan IPNU-IPPNU ini tak kunjung juga dirasakan?

Kegundahan itu sudah jauh-jauh hari saya diskusikan dengan teman-teman basecamp.  Dalam diskusi itu otak saya berkelana jauh ke tahun-tahun semasa saya di pesantren dan baru dikenalkan dengan bahasa arab. Dalam kita Al-Jurumiyah karya Imam Al Sonhaji, paling awal kita akan dikenalkan tentang definisi Kalam. Secara sederhana kalam dapat didefinisikan sebagai kalimat yang sempurna. Kalimat yang sempurna ini menyebabkan pendengar faham dan tidak perlu bertanya lagi. Dalam jurumiyah sendiri, kalam didefinisikan:

الكلامهوا اللفظُ المُرَكَّبُ المُفيدُ بالوَضْع

Al Kalamu Huwa Lafdzul Murokkabul Mufiedzu bil Wad’i

Suatu kalam atau kalimat yang sempurna, setidaknya mengandung 4 syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) Lafadz, (2) Murokab, (3) Mufid; dan (4) Wadho’

Lafadz

Lafadz dalam bahasa Indonesia berarti kata. Dalam kaidah nahwu lafadz berarti suatu ucapan yang dibangun dari huruf hijaiyah (dari alif sampai ya’). Ibaratkan kita adalah huruf-huruf hijaiyah itu. Ada yang memiliki tahi lalat di bawah seperti ba’, atau ada yang seperti nun, tahi lalatnya di atas. Ada yang rambutnya keriting seperti sin dan lain-lain. Lafadz ini menunjukkan kesatuan paling kecil dari keanekaragaman kita untuk membentuk satu susunana kata yang memiliki arti. Nun, Ha’, Dhood dan Ta’ tidak akan memiliki makna sebelum menyatu menjadi satu kalimat “Nahdhloh” yang artinya kebangkitan.

Murokkab

Suatu kalimat yang sempurna juga memiliki syarat Murokkab. Dalam kaidah nahwu, Murokkab adalah, maa tarokkaba min kalimataeni fa aktsaro (Sesuatu yang tersususun minimal dari dua kalimat atau lebih). Dalam satu kalimat bahasa arab, “Roaitu Zaidan”, lafadz Zaidun tidak akan pernah bisa berubah menjadi zaidan tanpa hadirnya lafadz Roaitu. Masing-masing kalimat (yang sebelumnya tersusun dari lafadz), katakan adalah fungsi koalisi dan oposisi, atau dalam sudut pandang yang lain ada adalah fungsi eksekusi dan fungsi evaluasi. Dapat juga diartikan masing-masing kalimat (yang tersusun dari lafadz) adalah departemen-departemen dalam IPNU. Organisasi tidak dapat berkembang jika hanya diduduki oleh sekelompok orang yang berfikiran sama. Harus ada sisi lain yang punya ide-ide berbeda untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan kesalahan kita sebagai seorang manusia. Ada fungsi evaluasi dari satu pihak yang lain untuk bersama-sama mencoba menyempurnakan tujuan. Disinilah pentingnya ‘susunan’ atau ‘susunan organisasi’ yang mengandung banyak bidang dan fungsi untuk mencapai suatu keseimbangan dan fleksibility.

Mufid

Huwa maa afaada faaidatan yahsunu as-sukuutu minal mutakallimi wassami’i ‘alaihaa. Salah satu hal yang sulit disentuh oleh kita adalah faidah yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Pengkaderan massif secara internal bisa berarti ego kita sebagai suatu organisasi, bukan cita-cita kita untuk hadir di tengah masyarakat sebagai organisme yang bermanfaat bagi mereka. Sesuatu hal yang bermanfaat tentu tidak akan lagi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan penolakan yang keras dari masyarakat. Sesuatu hal yang bermanfaat akan mudah diterima dan dijamin kelanggengannya. Salah satu dawuh guru saya, “Sesuatu yang masih bermanfaat maka Alloh langsung yang akan menjaganya hingga hari kiamat”.

Maka dari itu, kader-kader IPNU-IPPNU harus lebih mampu berperan di Masyarakat. Organisasi kita ibarat kawah candradimuka, yang menggodog berbagai hal di diri kita. Mulai dari mental, kejiwaaan, pengetahuan, cara berfikir, sikap hingga tindakan. Setelah melalui proses yang panjang sejak Makesta hingga LATFAS, tiada artinya jika kita tidak mampu mengaktualisasikan diri kita dan melebur dengan kebutuhan masyarakat. Mulai dari hal yang paling sederhana, kader-kader IPNU-IPPNU harus tampil membantu masyarakat. Mampu menjadi pembawa acara yang baik di acara hajatan tetangga, qiro’ di acara maulidan desa, bahkan menjadi pembicara di acara karang taruna. Selain itu, kader IPNU-IPPNU juga harus mampu menjadi perekat pemuda di daerahnya masing-masing, menjadi agen-agen perdamaian, dan dalam lingkup yang lebih kecil harus mampu menjadi inisiator kerukunan elemen-elemen masyarakat. Ini hal yang mendesak yang harus kita usahakan dan cita-citakan bersama. Ketika kader IPNU-IPPNU mampu bermafaat, masyarakat akan paham dengan sendirinya dan tidak akan mempertanyakan segala aksi kita. Dakwah bil hikmah seperti ini akan menjadikan IPNU-IPPNU organisasi yang mampu dipahami.

Wadho’

Dalam kaidah nahwu bil wad’i diartikan:

  1. Sesuatu yang disengaja;
  2. Sesuatu yang diucapkan harus menggunakan kaidah bahasa Arab.

Pertama, sesuatu yang kita lakukan sebagai organisasi tentu adalah sesuatu yang harus di rencanakan secara rapi dan terukur. Masing-masing dari kita memiliki ide dan harus disatukan dalam satu skema yang sistematis agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. ‘Kesengajaan’ ini dapat lebih berarti kepada keseriusan kita dalam mencapai cita-cita kita. Keseriusan itu harus dibentuk dari keseriusan-keseriusan yang lebih kecil. Serius dalam memikirkan IPNU-IPPNU, serius mencari ide yang baik, serius dalam menghadiri rapat-rapat bulanan, serius dalam menyambung silaturahim dengan kader, ulama dan umaro. Tanpa keseriusan-keseriusan di ranah yang paling kecil, maka cita-cita besar kita tidak akan pernah menjadi satu kesengajaan atau keseriusan.

Sementara Wadho’ dalam makna yang kedua, lebih ditujukan agar masyarakat mampu memahami setiap kalimat yang diucapkan. Dalam ilmu nahwu kalimat bahasa arab hanya boleh diucapkan dengan kaidah arab, dengan tujuan agar bangsa arab memahaminya. Bukan dengan kaidah bahasa prancis, inggris atau yang lain. Begitu pula setiap perjuangan kita, di suatu daerah tak akan bermakna apa-apa jika kita tidak mampu memahami adat-istiadat setempat. Kemampuan untuk memhami adat-istiadat setempat inilah yang menyebabkan kita mampu melebur. Pahami mereka dan mereka pun akan memahami kita.

Itulah beberapa syarat kalimat yang sempurna sehingga setiap orang yang mendengarnya akan mampu mehahami. Segala tindakan organisasi kita sudah selayaknya memenuhi syarat-syarat tersebut agar mampu diterima dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

LATFAS kali ini adalah salah satu ikhtiar kita bersama, namun tidak akan mampu berarti apa-apa tanpa kesadaran kita dalam 4 hal di atas. Lafadz yang bermakna persatuan dari berbagai kenakeragaman terkecil kita. Murokab yang berarti keseimbangan dan fleksibilitas sehingga kita mampu berbenah menjadi lebih baik lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Mufid yang berarti Hikmah, karena sekecil apapun tindakan kita jika itu bermanfaat maka akan menjadi hikmah yang baik. Yang terakhir adalah Wadho’ yang berarti keseriusan dan merawat tradisi.

Saya kutip pesan dari pendiri kita, KH. Tolchach Mansoer,

“Bukanlah kedjajaan dan keagungan organisasi itu jang menjadi tjita-tjita utama. Tapi bagaimana organisasi itu bisa memberikan sumbangan kepada masjarakat dalam segala bidangnja. Tudjuan organisasi ini masih djauh; apa jang nampak di depan mata kita ini hanja sekelumit jang tidak banjak artinya.”

“Tjita-tjita daripada IPNU jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite di dalam masjarakat. Tidak. kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi jang dekat dengan masjarakat.”

 Paling akhir, saya berpesan bahwa setiap proses yang kita lalui harus dilandasi dengan rasa ikhlas. Dalam setiap proses yang kita lalui dalam menuntut ilmu di organisasi melalui berbagai macam metode pengkaderan, proses kita berjuang untuk membesarkan organisasi atau bermanfaat di tengah-tengah masyarakat harus bisa kita kembalikan sebagai bentuk pengabdian kepada sang pencipta.

Para ulama ngendiko,

ما كان لله يبقى

“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.”

Saya yakin melalui IPNU-IPPNU, organisasi yang begitu dekat dengan para ulama ini, saya bisa berproses menjadi manusia yang lebih baik lagi, baik sebagai khalifah maupun sebagai hamba-Nya. Aamiiin. Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim.

Muhammad Hidayatullah

mbahdoyok

2 Comments

  • […] Artikel berlagak santri lain: IPNU Yang Mampu Berbicara […]

  • […] semasa mondok. Jika sebelumnya kita mencoba menyelami nadhom Jurumiyah di bagian Kalam (Baca: IPNU Yang Mampu Berbicara Dari Definisi Nahwu); maka kita akan mencoba menyelam lebih jauh. Setelah kita memenuhi syarat-syarat kalam agar mampu […]

Comments are closed.