Filosofi Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa dalam Sosok Pendiri IPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang kini telah berusia 67 tahun semangat trilogi gerakan: belajar, berjuang, dan bertaqwa. Filosofi semangat trilogi gerakan ini terepresentasi dalam sosok pendiri dan ketua pertama IPNU, KH Tolchah Mansoer.

Hal itu seperti yang disampaikan dalam Bedah Buku “KH. Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang Terlupakan” yang dilaksanakan di Gedung PWNU Jawa Tengah, Selasa (23/2). Bedah buku ini merupakan satu dari serangkaian acara Peringatan Harlah IPNU ke-67 yang digelar oleh Pimpinan Wilayah (PW) IPNU Jawa Tengah.

Salah satu penulis buku, Fahsin M Faal, menyampaikan bahwa sosok Kiai Tolchah Mansoer ada dalam semangat trilogi gerakan belajar, berjuang, dan bertaqwa. Dalam filosofi belajar, Fahsin menyampaikan bahwa Kiai Tolchah adalah sosok kader yang memiliki kegigihan dan semangat belajar yang luar biasa.

“Hebatnya beliau adalah hampir pendidikan yang beliau tempuh adalah pendidikan umum semua, tetapi pengetahuan keagamaan beliau luar biasa,” tuturnya.

Dalam filosofi berjuang, Kiai Tolchah adalah sosok pejuang yang totalitas dalam berjuang melalui partai politik, kampus, dan juga di tengah-tengah masyarakat. Hal itu dibuktikan ketika beliau di Jogja pernah menjadi Wakil Gubernur melalui Partai NU sebagai bentuk pengabdian dalam kancah politik.

Di dunia pendidikan, beliau berjuang dengan mengajar dan menjadi pimpinan berbagai perguruan tinggi sehingga kadernya pun banyak. Bahkan beliau saat itu pun tetap mengajar anak kecil di madrasah. Bentuk perjuangan lainnya beliau lakukan di tengah-tengah masyarakat melalui dakwah di banyak tempat, bahkan sampai ke Makasar.

Dalam filosofi bertaqwa dikonotasikan dengan kehidupan spiritualitas. Beliau adalah santri otodidak yang diakui kealimannya. Beliau adalah kiai yang tidak hanya basa-basi di forum, tetapi benar-benar kiai dan diakui oleh kiai-kiai besar seperti Kiai Achmad Siddiq, Kiai Muchit Muzadi, Kiai Abdullah Hamid. Bahkan menurut Fahsin, Kiai Tolchah adalah sosok wali.

Ada suatu kisah di mana beliau mau sowan ke Kiai Hasan Mangli. Esoknya sehabis subuh, sebelum berangkat sowan, ada sesosok orang yang dating ke rumah Kiai Tolchah. Tokoh itu ternyata adalah Mbah Mangli. Mbah Mangli yang waliyullah sowan ke Mbah Tolchah sebelum Mbah Tolchah mau sowan.

Fahsin juga menambahkan bahwa Mbah Tolchah Mansoer adalah prototope ideal kader NU adalah. Beliau berangkat dari orang biasa dengan sungguh-sungguh menjadi akademisi, intelektual, kiai, dan politisi yang hebat.

“Kalaupun tidak sanggup belajar sebagaimana beliau menjadi prototipe kader NU yang sesuai, kita bisa istiqomah di satu jalur yang kita tekuni. Menjadi politisi yang soleh, intelektual yang santun, menjadi kiai yang istiqomah,” tambahnya.

KH Tolchah Mansoer memang sosok yang banyak berkontribusi melalui gagasan-gagasan yang hebat. Penulis buku yang lain, Zaenul Arifin, menambahkan bahwa di antara gagasan yang ditulis dalam disertasi Kiai Tolchah ini ada ide yang dipakai pada masa kini. Beliau yang memang pakar hukum tata negara dalam disertasinya menyampaikan ide presiden dan wakil presiden menjabat maksimal dua tahun. Disertasi itu selesai disusun pada tahun 1969 dan pada era reformasi gagasan tersebut mulai dipakai.

Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Iman Fadhilah, yang menjadi pembanding sekaligus pembicara terakhir menyampaikan bahwa Kiai Tolchah adalah sosok yang sangat sederhana dan mencintai umat. Beliau mewakafkan waktunya luar biasa untuk umat.

Iman Fadhilah juga menyampaikan kepada rekan-rekan IPNU untuk menumbuhkan kecintaan terhadap organisasi IPNU. Hal itu sebagai bagian dari menyambungkan sanad kepada para muassis IPNU. Di akhir, beliau berpesan kepada rekan-rekan IPNU untuk menyediakan waktu khidmah untuk IPNU.

“Mudah-mudahan kita semua selalu diberi kesehatan dan juga kekuatan dalam khidmah organisasi,”, pungkasnya.

adminipnujat

adminipnujat

Leave a Reply