FDS, BOM Waktu Untuk Jokowi

Wajah pendidikan Indonesia saat ini sedang mengalami tarik ulur kebijakan. Disaat sistem pendidikan yang belum dirasakan maksimal karena gonta-gantinya kurikulum pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Muhajir Effendi justru mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yaitu Permendikbud nomor 23 tahun 2017 tentang penerapan Lima Hari Sekolah atau Full Day School (FDS) bagi satuan pendidikan di seluruh Indonesia dengan dalih untuk mewujudkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai amanat Nawa Cita yang bertujuan menyiapkan generasi emas pada tahun 2045.

Kebijakan tersebut saat ini sudah mulai diberlakukan di seluruh Indonesia. Melalui kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia, Mendikbud mengintruksikan seluruh kepala sekolah untuk segera menerapkan kebijakan tersebut di satuan pendidikan masing-masing khususnya di sekolah negeri. Akan tetapi kebijakan tersebut menuai respon penolakan dari beberapa elemen masyarakat khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang notabenya adalah pelaku pendidikan non formal madrasah dinniyah dan pondok pesantren.

NU menilai bahwa kebijakan FDS akan berdampak buruk bagi keberlangsungan pendidikan madrasah dinniyah dan pondok pesantren yang dianggap selama ini telah memberikan pendidikan karakter kepada para pelajar. Selain itu pula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo tentang penolakan FDS. PBNU menilai kebijaakan FDS tidak sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas pasal 51 tentang “Pengelolaan satuan pendidikan aanak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manejemen berbasis sekolah/madrasah”.
Arus penolakan NU terhadap FDS tenyata merebak ke banyak penjuru daerah. PBNU dalam suratnya yang bernomor 1460/C.I.34/08/2017 mengintruksikan semua elemen NU di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi dan pernyataan sikap menolak serta mendesak para kepala daerah untuk tidak memberlakukan FDS di daerahnya masing-masing. Bahkan muncul tuntutan kepada Presiden Jokowi untuk mencopot mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu dari jabatan Mendikbud karena dianggap seringkali mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif.

Sikap seperti ini menurut penulis adalah sebuah langkah yang jarang dilakukan oleh NU. Pasalnya NU sebagai organisasi yang moderat selalu mengedepankan musyawarah jika ada permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Upaya diplomasi sudah dilakukan oleh NU kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang merugikan NU tersebut. Akan tetapi sepertinya upaya tersebut tidak berbuah hasil sehingga NU harus mengambil langkah lain agar aspirasinya didengar oleh pemerintah.

Dilihat dari kacamata politis, sesungguhnya ini akan menjadi bom waktu bagi Presiden Jokowi untuk kepentingan di Pilpres 2019 nanti. Seperti diketahui bersama, bahwa kekuatan politik Jokowi selama ini memang tidak terlepas dari basis kekuatan warga Nahdliyin. Saat ini NU juga sudah mulai gerah dengan kebijakan Mendikbud tersebut. Jika hal ini tidak disikapi baik oleh Jokowi, tidak menutup kemungkinan dia akan kehilangan sebagian besar kekuatan politiknya untuk mempertahankan kekuasaannya nanti.

Di saat suhu politik menjelang 2019 semakin hangat, Presiden Jokowi seharusnya berhati-hati dalam menentukan kebijakannya. Jangan sampai langkah yang diambil oleh pemerintah menjadi bom waktu yang bisa dimanfaatkan oleh lawan politiknya. Isu FDS sesungguhnya bisa menjadi bahan yang bagus untuk menggiring opini warga NU untuk menurunkan simpatinya kepada Jokowi. Tentunya itu hal yang tidak diinginkan oleh Jokowi sendiri.
Kemarin (8/8), PKB sebagai partai pendukung pemerintah melontakan ancaman untuk tidak akan mendukung kembali Jokowi di Pilpres 2019 jika kebijakan FDS tidak dicabut. Hal ini disampaikan oleh Wasekjend PKB Maman Imanul Haq di acara Halaqoh Kebangsaan yang diselenggarakan oleh DPP PKB di Jakarta. Partai yang dinahkodai oleh Cak Imin tersebut memang merasa mempunyai tanggung jawab untuk mengawal aspirasi warga NU. Jadi tidak heran jika PKB mengeluarkan sikap yang senafas dengan kebijakan NU. Bahkan PKB mengintruksikan kepada jajaran pengurus dibawahnya untuk menyuarakan dan mengawal penolakan FDS di daerah masing-masing. Ancaman ini memang harus disikapi serius oleh Presiden Jokowi jika tak mau kehilangan basis konstituen warga NU.

Hubungan antara NU dan pemerintah selama ini memang terjalin sangat harmonis. Hubungan ini memang tidak terlepas dari historis saat Jokowi hendak mencalonkan diri sebagai Presiden pada tahun 2014 lalu. Komunikasi dibangun oleh Jokowi dengan para kiai NU untuk mandapatkan simpati dari warga Nahdliyin. Disaat Jokowi mendapatkan berbagai serangan isu SARA, bisa terpatahkan dengan kedekatan Jokowi dengan para kiai NU.

Selama perjalanan pemerintahan Jokowi saat ini sangat intens menjalin hubungan baik dengan para warga NU. Bahkan Jokowi memberikan hadiah yang sangat tinggi nilainya untuk warga Nahdliyin yaitu ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tak jarang pula NU menjadi pengawal kebijakan Jokowi yang menuai pro dan kontra. Sebagai contoh yang belum lama terjadi adalah ketika pemerintah mengeluarkan Perppu tentang pembubaran organisasi masyarakat mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, NU menjadi garda terdepan mendukung sikap pemerintah.
Saat ini lawan politik Jokowi sudah mulai bermanuver guna membangun kekuatan menghadapi Pilpres 2019 nanti. Kekuatan mulai dihimpun untuk bisa merebut kursi Presiden selanjutnya. Serangan pun datang bertubi-tubi kepada pemerintah yang dipimpin oleh Jokowi. Presiden RI ke tujuh ini sudah saatnya menjaga stabilitas kekuatan politiknya saat ini. Merawat bangunan simpati masyarakat yang sudah lama dibangun dengan susah payah. Mengingat sampai saat ini pun Jokowi belum mendapatkan pernyataan resmi dari PDI Perjuangan sebagai partai pengusung utama apakah kembali mengusungnya atau tidak. Hal ini dikarenakan selama perjalanannya dia memimpin republik ini, tidak sedikit kebijakannya yang bersebrangan dengan partai berlambang kepala banteng tersebut.

Berkaitan dengan FDS, menurut hemat penulis Jokowi harus mengambil langkah yang tegas yaitu mencabut kebijakan tersebut. Ditinjau dari aspek sosial kebijakan tersebut memang belum sesuai dengan culture budaya bangsa Indonesia, dan ditinjau dari aspek politik juga lebih banyak mudharatnya untuk kepentingan politik Jokowi. Masih banyak cara untuk mewujudkan Nawa Cita yang digagas oleh pemerintah ketimbang memaksakan kebijakan FDS yang banyak menuai kritik dari masyarakat khususnya warga Nahdliyin. Sehingga kebijakan tersebut tidak menjadi bom waktu yang bisa menghambat Jokowi untuk meneruskan kursi kepresidenan pada periode berikutnya.

Oleh: Ferial Farkhan Ibnu Akhmad
(Ketua PW. IPNU Jawa Tengah

ferialfarkhan

ferialfarkhan