Saya selalu berpikir: salah satu alasan radikalisme muncul dan (mulai) mengakar adalah dakwah yang keras dan selalu menanamkan bayang-bayang dosa. Bukan hanya pada pernyataan-pernyataan kafir halal darahnya atau mereka yang beda pilihan merupakan kaum munafik, melainkan juga cara-cara penyampaian yang senantiasa membawa “neraka” sebagai senjata.
Sebagai contoh, ketika seseorang menasihati orang lain agar tak mencuri, dia bilang: mencuri itu haram. Jika kamu mencuri, maka tanganmu akan dipotong. Kelak, kamu juga akan disiksa habis-habisan oleh malaikat di neraka!1!1
Cara tersebut barangkali efektif untuk mencegah orang melakukan pencurian—manusia memang kadang membutuhkan suatu objek untuk ditakuti. Namun, apakah cara seperti ini baik?
Saya rasa tidak.
Dalam konsep dakwah seperti itu, kepercayaan yang dibentuk adalah Tuhan merupakan Dzat yang harus ditakuti. Dia dinarasikan sebagai Dzat yang akan murka jika kita melanggar peraturan. Suatu Entitas yang dengan gampangnya menghukum manusia yang berbuat kesalahan. Sederhananya, wajah yang banyak ditampilkan adalah wajah Tuhan sebagai penghukum, alih-alih wajah Maha Pengasih dan Penyayang-Nya.
Untuk jangka waktu pendek, dakwah model ini mungkin tidak terasa efeknya. Namun, untuk jangka waktu panjang, ia akan menciptakan karakter keras—yang sedikit-sedikit main ancam jika ada sesuatu yang tak dikehendakinya. Inilah akar radikalisme—selain tentunya indoktrinasi paham teror. Dakwah bersenjatakan neraka melahirkan orang-orang yang tak segan bermain kasar karena merasa menjadi tangan Tuhan. Neraka tempat orang berdosa; mereka pantas menghukumnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini, maka kita membutuhkan narasi pelawan. Jika yang kita hadapi api, maka kita membutuhkan air—bukan minyak. Jika kita tidak menginginkan sikap keras dalam dakwah sirna, maka kita membutuhkan yang ramah dan penuh kasih sayang. Saya menyebutnya: dakwah romantis.
Dakwah romantis menyajikan hal-hal dengan lembut, berusaha menyentuh sisi-sisi kemanusiaan orang. Sebagaimana seorang kekasih menyatakan cinta pada belahan jiwanya. Ia tidak menakut-nakuti, melainkan mengajak untuk berpikir dan merasakan. Ia tidak mengancam, sebab hubungan adalah seni untuk saling menguatkan.
Dalam kasus nasihat agar tidak mencuri seperti di atas, misalnya, orang yang berdakwah dengan romantis tidak akan membawa-bawa neraka. Ia akan mengatakan: mencuri tidak akan membuatmu tenang—sama gelisahnya dengan ia yang barangnya kau ambil. Toh, apa bahagianya mengambil milik seseorang? Allah sudah menjamin rezeki setiap orang. Tentu rezeki yang halal. Kehilangan, sampai kapan pun, akan selalu menjadi kabar buruk; ia menyakitkan. Kita semua tahu bagaimana rasanya.
Contoh lainnya, alih-alih mengancam orang yang tidak mendirikan salat wajib dengan neraka jahannam, hendaknya kita menasihati dengan bilang: salat adalah waktu khusus kita berbincang dengan Allah SWT setelah berjam-jam kita melakukan berbagai aktivitas. Bukankah mencintai membutuhkan ruang untuk berkomunikasi? Sesungguhnya Allah cemburu melihatmu lebih lama menghabiskan waktu bersama hal-hal selain-Nya.
Bukankah cara seperti itu lebih baik?
Saya rasa, konsep dakwah romantis sangat beriringan dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin. Allah SWT, melalui ayat-ayat agung-Nya, telah memerintahkan kita untuk menyampaikan segala hal dengan cara yang baik. Dalam beberapa firman-Nya, toh secara gamblang kita diajak untuk menyeru sesama kepada jalan Tuhan dengan cara yang penuh hikmat dan berlandaskan kasih sayang. Lembut tutur, juga lembut tindaknya.
Barangkali ini akan sedikit menguras tenaga. Namun percayalah, pandangan yang berusaha ditanamkan lewat dakwah romantis akan tumbuh dengan baik. Tidak ada kekerasan atau ancaman. Orang-orang akan terbiasa tersenyum ramah karena mereka senantiasa melihat Tuhan dengan wajah yang penuh rahmah.
Sebab orang-orang melihat Tuhan sebagai suatu Dzat yang penuh mahabah, mereka akan beribadah dengan ikhlas dan penuh cinta. Pada akhirnya, takkan ada cacian. Takkan ada lagi sengketa.
Jika semua pendakwah seperti ini, saya rasa pandangan bahwa Islam keras dan sarang teroris akan hilang. Sebaliknya, mereka akan memandang Islam sebagai jalan cinta yang sesungguhnya. Bukan tidak mungkin, pintu hidayah muncul dari sana.
Manusia hanya bisa mengajak, hidayah mutlak urusan Tuhan. Berlaku lembutlah. Allah tahu yang terbaik untuk para hamba-Nya.
Wallahu a’lam bis showaab.
Ahmad Abu Rifai
Takmir Ponpes Al-BP2Miyyah