Disebuah desa nan jauh dari ramainya demonstrasi atas nama agama. Dimana hukum diperlakukan seperti raja, sangat dihormati dan sangat dipatuhi. Hukum berjalan sebagai mana mestinya. Jika ada satu dua kekurangan itu bisa dibicarakan dengan duduk untuk berdiskusi membahasnya. Sehingga kedamaian terasa begitu melekat di desa tersebut. Kontras dengan kehidupan di kota. Padahal tingkat pendidikan masyarakat desa lebih rendah jika dibandingkan dengan orang kota. Tetapi kenapa kemudian orang kota lebih rendah pemahamannya tentang hukum. Bukankah ilmu itu membuat orang jadi pintar. Atau justru membuat orang jadi sok pintar?. Apa iya orang semakin pintar semakin sulit diatur, termasuk dengan hukum sekalipun. Belajarlah dari masyarakat desa yang meski sederhana tapi paham bagaimana sebuah negara menjalankan semua instrumennya. Sudahlah, kembali ke benang merah saja.
Di desa tersebut masyarakat hidup sangat bahagia. Dalam kesederhanaan, dalam balutan kasih sayang. Hari demi hari dilalui bersama, membuat cinta tumbuh subur di sana. Seperti suburnya kebun cabai yang bisa dipanen setiap waktu. Harganya juga tidak akan pernah naik atau turun. Karena kebun cabai milik sendiri. Mau sambal sepedas apapun juga tidak akan membuat dompet ikut pedas. Harga cabai di pasar bersaing dengan harga daging. Tetapi enaknya daging tak akan mampu mengalahkan nikmatnya sensasi dalam kepedasan cabai. Masyarakat hanya paham soal kenikmatan itu. Mereka tidak paham prinsip ekonomi. Tidak ngerti kalo harga cabai naik karena ketersediaan di pasar yang langka. Satu hal yang mereka pahami, kalo pengen sambal ya nanem cabai. Mana paham harus mencukupi kebutuhan cabai nasional. Itu pekerjaan orang kota yang tidak pernah menanam cabai. Stabilitas harga itu penting dalam masyarakat di belahan dunia manapun. Jangan giliran udah naik tinggi baru panik cari kambing hitam. Masalahnya kambing tidak makan cabai. Jadi jangan dia melulu yang disalahkan. Sekali-kali kambing yang pakai dasi suruh tanggungjawab. Masing-masing kan sudah ada tugas dan tanggungjawabnya, pahami dan kerjakan. Petani dengan tananam cabainya dan pemerintah dengan otoritas serta kebijakannya mengendalikan harga. Dengan demikian kejadian melambungnya harga cabai bisa diminimalisir. Sudahlah, kembali ke benang merah saja.
Selain cabai yang subur, ada juga ladang padi yang siap untuk dipanen. Dua atau tiga minggu lagi akan ada panen raya. Sebagian masyarakat desa memang mengandalkan hasil pertanian untuk bertahan hidup. Mereka bekerja di kebun dan ladang milik sendiri atau buruh kepada tetangga. Saat panen raya tiba, semua akan mendapatkan bagian sesuai kerjanya. Pemilik ladang dengan bagiannya. Begitu juga dengan buruh yang merawat, juga dengan bagiannya. Panen raya berarti waktunya mendapat bagian dari hasil jerih payah selama beberapa bulan. Sama halnya dengan panen raya mega proyek e-KTP. Proyek ini disulap jadi kebun dan ladang tak terhingga oleh para maling durjana. Yang kemudian dipanen dan dibagi ke semua yang ada di dalamnya. Negara diperkirakan merugi hingga 2,3 triliun rupiah. Uang sebanyak itu yang jika dibelikan air bersih, bisa jadi danau di timur Indonesia. Yang jika dibuatkan sekolah, bisa untuk ratusan gedung baru. Yang jika untuk pembiayaan kartu Indonesia Pintar (KIP) bisa untuk lebih dari 2 juta siswa. Dan mimpi lain yang hanya bisa jadi anggan. Karena terlanjur sudah dipanen raya. Sudah dibagi sesuai porsi tugasnya. Deretan namanya teramat panjang, mirip daftar hutang masyarakat desa. Sungguh malang bangsa ini, budaya panen raya milik masyarakat desa dimaknai lain oleh orang kota. Orang kota yang oleh masyarakat desa dipercaya untuk mengatur uang milik negara. Sudahlah, kembali ke benang merah saja.
Kisah ini sudah hampir sampai pada ujungnya. Tetapi masih juga belum menemukan benang merah yang ingin diceritakan sejak awal. Mungkin karena gaduhnya demonstrasi atas nama agama. Mungkin pula karena kepedasan melihat harga cabai naik tiada tara. Atau mungkin terlalu kecewa karena duit lebih dari 2 triliun milik negara dipanen raya oleh para penguasa. Nasib.., nasib.., Sudah jatuh tertimpa tangga. Dan makin bertambah deritanya karena cerita ini masih tidak ada benang merahnya. Sudahlah, kembali ke benang merah saja. Eh., mana ini benang merahnya..?. Cerita Tanpa Benang Merah,,,(MRC)