Hampir semua orang kelihatan panik ketika ada kata baru yang jadi kenyataan. Apa itu? Belajar online. Di sekolah, guru mengajar secara online. Di kampus, dosen berkuliah online. Dan ternyata, di rumah, orang tua ikut-ikutan mendampingi anaknya belajar online.
Saya mencoba untuk memberikan sebuah makna dari peristiwa siaga wabah Covid-19 ini dengan sebuah keterkejutan. Bagi yang memang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan dunia peronlinenan, semua yang online-online terasa ribet.
Namun lain halnya, bagi yang familier dengan internet dan ramah ICT, dunia online sangat menyenangkan. Dan tentunya ini semua butuh biaya, dari mulai perangkat HP/laptop hingga paket data internet. Butuh keluar uang yang ada di dompet.
Kejadian siaga Covid-19, terutama di Indonesia membuat keterkejutan baru. Belajar tetap berjalan, tetapi dilakukan dengan cara jarak jauh dan tidak tatap muka secara langsung. Alhasil, guru dan dosen harus diuji dengan kemampuan ICTnya. Lembaga pendidikan juga ikut serta dan ramai-ramai menyediakan ruang kelas dunia maya.
Dan saya pun ikut kepo sedikit-sedikit dengan baca status teman-teman saya yang kebetulan jadi guru atau dosen. Komentarnya pun beragam, yang intinya ada yang senang, biasa saja dan bahkan tidak suka sama sekali dengan pola pembelajaran online.
Itu yang komentar guru dan dosen lho ya.
Lalu bagaimana dengan siswa dan mahasiswa?
Jawabnya ya hampir sama. Para pencari ilmu inipun ada yang suka karena tidak perlu hadir di ruang kelas dan bisa merdeka. Ada yang biasa-biasa saja karena memang ini biasa bagi anak millenial. Tapi ada yang tidak suka ribet belajar online, karena ujung-ujungnya tugas yang menumpuk.
Dimana bisa menemukan tugas menumpuk? Kalau belajar tatap muka, cukup bisa hadir, duduk dan pulang nugas. Tapi kalau belajar online harus lebih aktif menulis-merangkai kata dalam forum diskusi dan pasti ada metode kumpulkan resume. Jadi ribetnya itu disini. Menulis. Ya kan?
Inilah yang saya sebut di awal dengan istilah keterkejutan. Pada sisi pendidik dan pelajar yang tidak suka ribet dengan model online-online ini bisa jadi tidak terbiasa merangkai kata.
Oleh sebab itu, dibutuhkan waktu untuk bisa menjadi kategori pendidik dan pelajar penyuka model online ini. Dan hemat saya ini butuh kesabaran. Iya benar butuh kesabaran.
Mengajar di ruang kelas butuh kesabaran dan mengajar di ruang dunia juga butuh super sabar. Kalau tidak punya rasa sabar, ruang belajar akan menjadi hampa.
Ingat bahwa ruh belajar adalah mencari ilmu dan ilmu itu akan menjadi pengetahuan yang akan didarmabaktikan untuk masyarakat. Jadi mari bersama-sama jangan mudah terkejut dan tambahkan kesabaran dalam belajar secara online ini.
Kira-kira apa saja agar belajar online ini jadi menarik?
Ya butuh mengupdate dan mencetak guru dan dosen berjiwa Millenial. Sebab hari ini kita sedang menjadi orang tua bagi anak-anak Millenial yang super cerdas.
Selamat belajar.
–*–
Oleh: M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo